Assalamu'alaikum wr. wb " Kami Pengurus mengajak kepada bapak/ibu/saudara donatur/pembaca blogpanti yang ingin berinvestasi akhirat utk pembebasan tanah panti permeter : 250.000.yang masih kurang 35 juta.jika berminat hbg bendahara Hj,sri Murtini :081328838320/0274 773720/774230/langsung transfer ke no.rekening panti BRI cab.wates no.0152.01.003706-50-5 Cq H.Anwarudin. semoga menjadi sebab-sebab kemudahan dan khusnulkhotimah

Kamis, 14 Juli 2011

Definisi Zakat, Infaq dan Shadaqah

Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) –karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan–, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’:
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”
“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi ]
REFERENSI
• An Nabhani, Taqiyyudin. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III. tp. Al Quds. Cet. II. 1953
• An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990
• An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963
• An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982
• As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992.
• Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998
• Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996
• Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989

NasNasehat Buya HAMKA Kepada Angkatan Muda Islam

"Angkatan Muda saya serukan, seruan yang saya sendiripun berjanji hendak melaksanakannya pula, sebelum kamu, sekedar tenaga yang ada padaku.

Kalian adalah harapan Islam di zaman depan. Sebab itu pelajarilah Islam. Pelajarilah dasar aqidahnya sehingga mantap, lalu kuatkan dengan ibadah, sampai menjadi darah daging.

Benamkan dirimu kedalamnya sampai ideologi itulah kekayaanmu. Hingga kamu ridha melarat, ridah dikucilkan bahkan ridha mempunyai pendirian sendiri di dalam menilai segala soal, walaupun orang kiri-kananmu tidak berani lagi menyatakan pendirian itu.

Dengan tegaknya aqidah, dikuatkan dengan ibadah, kian lama kian leburlah diri ke dalam cita-cita. Sehingga kian tumbuhlah dalam jiwamu kepercayaan, kita manusia ini hanya alat Tuhan belaka, buat menegakkan apa yang diperintahkan-Nya.

Kalau orang komunis seperti Sudisman berdiri tegak, dengan muka tenang menunggu hukuman mati, kalau Nyono masih sempat bersyair seketika mendengarkan vonis, padahal mereka hendak menghancurkan agamamu, mengapa kamu yang mempertahankan ajaran Allah, menjaga agama pusaka akan ragu menghadapi segala kemungkinan di dalam keyakinan?

Sebabnya ialah karena belum banyak yang membenamkan dirinya kedalam cita-citanya sebagaimana citacita orang komunis itu.

Islam kita terima sebagai agama, dan kita marah kalau dikatakan tidak Islam. tetapi Islam itu sendiri belum meresap ke dalam jiwa. Kita belum merasakan lezatnya iman, kita belum merasakan nikmatnya ideologi.

Yang utama dalam menegakkan ideologi bukanlah mesti bergelar alim, bukanlah ahli fiqh atau titel kesarjanaan, melainkan karakter (Quwwatul-Khulqi). Ideologi menimbulkan iradah, cita2 menuju maksud yang mulia. Ideologi menimbulkan harga diri yang jauh lebih mahal dari harta dan tahta. Ideologi menimbulkan rasa khidmat dan kewajiban. Sebab itu seseorang yang memiliki rasa tanggung jawab lebih dahulu menunaikan kewajiibannya daripada menuntut hak.

Binalah diri ini terlebih dahulu dengan memperdalam aqidah dan ibadah, perteguh hubungan dengan Tuhan. dengan pertalian yang teguh dengan Tuhan, hadapilah tugasmu dalam hidup.

Maka apapun yang terjadi, kalian akan tetap merasa bahagia. Sebab didalam jiwa mu ada kekayaan (ideologi)".


(Rangkuman tulisan HAMKA dalam Artikel Panji Masyarakat)

informasi

Jumlah anak yatim dan dhu'afa santri baru panti asuhan Muhammadiyah wates sekarang 50 anak ( 41 putri 9 putra )awal tahun baru ini kami membutuhkan alat tulis sekolah mereka untuk sekolah dan taklim diniyyah.sebelum kami mengucapkan terima kasih dan smg menjdi salah satu sebab dimudahkannya semua urusan bapak ibu donatur

Sabtu, 14 Mei 2011

Shodaqoh (Sedekah)

Oleh: Ustadz Zenni Mahmud, S.Pd.I.

PENGERTIAN
Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq yaitu mengeluarkan sebahagian dari harta untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Namun begitu, sedekah memberi maksud yang lebih luas dari pada infaq karena infaq hanya berkaitan dengan material, manakala sedekah merangkumi material dan non-material. Walaupun kebanyakan kalimah sedekah yang disebut dalam Al-Quran membawa maksud berzakat, namun perkara yang diperhatikan adalah bahwa, jika seseorang itu telah berzakat tetapi masih mempunyai kelebihan harta, sangat dianjurkan untuk berinfaq dan bersedekah

Selain dari pada sedekah wajib, umat Islam digalakkan memberi sedekah sunat sebagai tanda kesyukuran akan nikmat yang dikurniakan Allah terutamanya nikmat Islam.

PERBANDINGAN SEDEKAH MENURUT AL-QURAN
"Bandingan pemberian orang-orang yang membelanjakan hartanya pada jalan Allah, sama seperti sebiji benih yang tumbuh mengeluarkan tujuh tangkai, setiap tangkai itu mengandungi 100 biji. Dan ingatlah, Allah akan melipat gandakan pahala bagi siapa yang di kehendak-Nya dan Allah maha luas (rahmatnya) lagi malliputi ilmu pengetahuan (Al- Baqorah : 261 )

HUKUM SEDEKAH
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga. Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang benar-benar sedang mendambakan uluran tangan.

KRITERIA BARANG
Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya; ''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).

KELEBIHAN SEDEKAH
“Dan belanjakanlah ( dermakanlah ) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
kamu sebelum sampai ajal maut seseorang dari kamu, ( kalau tidak ) maka ia ( pada saat itu ) akan
merayu dengan berkata : Wahai Tuhanku! Alangkah baiknya jika Engkau lambatkan kedatangan ajalku sekejap lagi, supaya aku dapat bersedekah dan dapat pula aku menjadi dari orang yang soleh” ( Al-Munafiquun : 10 )

RAHASIA YANG TERKANDUNG DALAM SEDEKAH

A. Rahasia sedekah: Kematian
Rasulullah saw bersabda : Sedekah dapat menolak kematian yang buruk. (Al-Wasail 6 : 255, hadist ke 2)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata :
Pada suatu hari orang yahudi lewat dekat Rasulullah saw, lalu ia mengucapkan : Assam alayka (kematian atasmu). Rasulullah saw menjawab : Alayka (atasmu). Lalu para sahabatnya berkata : Ia mengucapkan salam atasmu dengan ucapan kematian, ia berkata: kematian atasmu. Nabi saw bersabda : “Demikian juga jawabanku. Kemudian Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya orang yahudi ini tengkuknya akan digigit oleh binatang yang hitam (ular dan kalajengking) dan mematikannya. Kemudian orang yahudi itu pergi mencari kayu bakar lalu ia membawa kayu bakar yang banyak. Rasulullah saw belum meninggalkan tempat itu yahudi tersebut lewat lagi (belum mati). Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya : Letakkan kayu bakarmu. Ternyata di dalam kayu bakar itu ada binatang hitam seperti yang dinyatakan oleh beliau. Kemudian Rasulullah saw bersabda : Wahai yahudi, amal apa yang kamu lakukan? Ia menjawab: Aku tidak punya kerjaan kecuali mencari kayu bakar
seperti yang aku bawa ini, dan aku membawa dua potong roti, lalu aku makan yang satu potong dan satu potong yang lain aku sedekahkan pada orang miskin. Maka Rasulullah saw bersabda : Dengan sedekah itu Allah menyelamatkan dia. Selanjutnya beliau bersabda : Sedekah dapat menyelamatkan manusia dari kematian yang buruk. (Al-Wasail 6: 267,hadist ke 4)

B. Rahasia sedekah : Bertambahnya rezeki
Rasulullah saw bersabda : Bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya sedekah dapat menambah harta yang banyak. Maka bersedekahlah kalian, niscaya Allah menyayangi kalian. (Al-Wasail 6: 255, hadist ke 11)

C. Rahasia sedekah : Bahaya
Rasulullah saw bersabda : Mulai pagi harimu dengan sedekah, barang siapa yang memulai pagi harinya dengan sedekah ia tidak akan terkena sasaran bala. (Al-Wasail 6: 257, hadist ke 15)

D. Rahasia sedekah : Keimanan
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata :
“Tidaklah sempurna keimanan seorang hamba sehingga ia melakukan empat ha l: Berakhlak baik, bersikap dermawan, menahan karunia dari ucapan, dan mengeluarkan karunia dari hartanya.” (Al-Wasail 6 : 259, hadist ke 21)

E. Rahasia sedekah : Perang Uhud
Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata bahwa Allah Swt berfirman:“Segala sesuatu Aku wakilkan pada orang selain-Ku untuk menggenggamnya kecuali sedekah, Aku sendiri dengan tangan-Ku yang mengambilnya, sekalipun seseorang bersedekah dengan satu biji korma atau sebelah biji korma. Kemudian Aku menambahkan baginya sebagaimana ia menambahkan sebelum meninggalkan. Kemudian saat ia datang pada hari kiamat ia mendapat pahala seperti pahala perang Uhud bahkan lebih besar dari pahala perang Uhud.” (Al-Wasail 6: 265, hadist ke 7)

F. Rahasia sedekah : Penjagaan Allah Sepanjang Hari
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata :
“Awali pagi harimu dengan sedekah, gemarlah bersedekah. Tidak ada seorang mukmin pun yang bersedekah karena mengharapkan apa yang ada di sisi Allah untuk menolak keburukan yang akan turun dari langi ke bumi pada hari itu, kecuali Allah menjaganya dari keburukan apa yang akan turun dari langit ke bumi pada hari itu.” (Al-Wasail 6: 267, hadist ke 3)

Sedekah Yang Paling Afdol
Nabi shollallahu ’alaihi wassallam memberikan gambaran kepada ummatnya mengenai sedekah yang paling afdhol.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ
تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ
قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

“Seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wassallam: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?” Beliau menjawab: “Kau bersedekah ketika kau masih dalam keadaan sehat lagi loba, kau sangat ingin menjadi kaya, dan khawatir miskin. Jangan kau tunda hingga ruh sudah sampai di kerongkongan, kau baru berpesan :”Untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian.” Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).” (HR Bukhary)

Jadi Kaya Karna Sedekah
Di dalam buku The Miracle Of Giving, Ustad Yusuf Mansur berkata, apa yang sudah kita ketahui ini akan menjadi ilmu buat kita. Sehingga jika kesusahan dalam hal finansial, tidak susah-susah minta tolong kepada orang lain, tapi langsung minta tolong kepada Allah SWT.

Beberapa Tips Menjadi Kaya Dari Masukan Ustad Yusuf Mansur :
1. Shalat Dhuha 4 rakaat (dilaksanakan dalam 2 rakaat – 2 rakaat) dapat membuka pintu rizqi.
2. Meminta pada Allah SWT saat Shalat Tahajjud.
3. Memelihara dan memberi makan anak yatim.
4. Sedekah 10% dari penghasilan, karena 2,5% saja tidak cukup.
5. Sedekah 10% dari jumlah yang diinginkan. Dengan konsep ini, jika kita ingin membeli rumah seharga Rp 100 juta, maka kita harus bersedekah sekitar Rp 10 juta terlebih dahulu. Karena beginilah matematika sedekah menurut Ustad Yusuf Mansur.

10 – 1 = 19
Dalam matematika biasa memang 10 – 1 adalah 9. Namun karena Allah menjanjikan balasan 10x lipat, maka minimal kita akan mendapatkan 19. Jika perhitungan dilanjutkan maka akan seperti ini:
10 – 2 = 28
10 – 3 = 37
10 – 4 = 46
10 – 5 = 55
10 – 6 = 64
10 – 7 = 73
10 – 8 = 82
10 – 9 = 91
10 – 10= 100

Taubatnya Orang Yang Berzina

Oleh : Ustaaduni Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
وَاللَّذَانَ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“ Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” ( Qs An Nisa’ : 16 )
Beberapa saat yang lalu, Ustaaduni Dr. Ahmad Zain An Najah, MA ( semoga Allah menjaga beliau ) mendapatkan pertanyaan via sms yang isinya sebagai berikut :
1. Ustadz orang yang berzina itu kan kalau ingin taubat, harus dirajam dulu ?
2. Bagaimana orang-orang yang sudah taubat dan belum dirajam, padahal mereka sudah mati, apakah taubat mereka diterima, dan di Indonesia kan tidak ada hukum rajam ?

* Pertanyaan di atas mengandung dua masalah ;
- Masalah pertama : apakah taubat orang yang berzina tanpa dirajam terlebih dahulu akan diterima oleh Allah ?,
- Masalah kedua : bagaimana penerapan hukuman rajam di Indonesia ?
Untuk mempermudah masalah, maka pada makalahini, kita bahas terlebih dahulu masalah pertama yaitu cara taubat orang yang berzina. Keterangannya sebagai berikut :

* Apabila seorang muslim berzina, maka dia mempunyai dua keadaan :
Keadaan Pertama : Pemerintah mengetahui perbuatan tersebut, yaitu melalui dua cara, pertama : adanya empat orang saksi yang adil dan melaporkannya kepada pemerintah, kedua : sang pelaku melaporkan perbuatannya sendiri dan memintanya untuk ditegakkan hukuman kepadanya. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah wajib menegakkan hukuman had kepadanya. ( Hukuman Had adalah hukuman yang kadarnya telah ditetapkan oleh Syariah terhadap kejahatan – kejahatan tertentu, seperti hukuman potongan tangan untuk pencuri, rajam bagi orang yang berzina jika dia sudah menikah, qishas bagi yang membunuh orang lain dengan sengaja tanpa haq )
Dalilnya adalah hadits kisah Ma’iz bin Malik al Aslami dan wanita Ghamidiyah, yang datang menemui Rasulullah saw mengaku dirinya berzina dan ingin dibersihkan dari dosa tersebut, kemudian Rasulullah saw merajam keduanya. ( HR Muslim )
Ini dikuatkan dengan Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِي لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ
“Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah." ( Hadits Shohih Riwayat Malik dan Ahmad )
Keadaan Kedua : Kejahatan tersebut belum diketahui oleh pemerintah, maka pelakunya jika ingin bertaubat, maka ia harus menyesali perbuatan tersebut dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Kemudian dia harus memperbanyak amal sholeh di sisa – sisa umurnya, itu saja.
---------------------------
* Ziyaadatul Bayan :
Assalamu'alaikum w.w Kunjungilah toko kecil kami yang menyediakan berbagai keperluan muslim, semoga dapat memberikan manfaat bagi saudaraku semua. Wa'alaikum salam w.w Ust. Tohari bin Misro S,sy GRIYA MUSLIM Shofiyyah Az-Zahro
Menyediakan :* Perlengkapan Muslim ( Baju,Krudung dewasa dan anak * Apotek Herbal ( Habbasatussauda'dan Madu )
* Pustaka Ilmu ( buku-buku bacaan Islami/ Majalah Asunnah,Al-Furqon,Hidayatullah,Qibalti,Asy-syari'ah,el-fata, dan SM )
* VCD, MP3 dan Kaset Murottal & Kajian/Pengajian
Alamat : Protelon Kidul belakang Pasar Wates KulonProgo ( Pemesanan bisa hubungi : Sayyidah Nur Millah SIP binti H.Ikrom
Apakah hukuman baginya menjadi gugur setelah bertaubat ?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini :
* Pendapat Pertama :
Hukuman had harus tetap ditegakkan kepadanya, walaupun dia sudah bertaubat. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah dan Dhahiriyah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i.
Adapun dalil- dalil mereka adalah sebagai berikut :
Pertama : adalah firman Allah swt :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” ( QS An-Nur : 2 )
Ayat di atas menunjukkan perintah untuk menerapkan hukuman pada orang yang berzina. Dan ini berlaku umum, baik yang sudah bertaubat maupun yang belum bertaubat.
Kedua : Hadist Nabi saw menerapkan hukum rajam kepada orang yangmengaku berzina yang bertaubat.
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“ Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni." Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya." ( HR Muslim )
Hadist di atas menunjukkan bahwa orang yang berzina, walaupun sudah bertaubat, tetap harus dihukum.
Ketiga : Bahwa hukuman diterapkan kepada pelaku zina dengan tujuan untuk membersihkan dari dosa tersebut di dunia ini. Selama itu belum ditegakkan kepadanya, maka dia belum bersih dari dosa. Dan ini sekaligus sebagai bentuk kaffarah.

* Pendapat Kedua :
Jika seseorang yang berzina telah bertaubat sebelum ditegakkan hukuman had kepadanya, dalam arti pemerintah belum mengetahui perbuatannya, maka hukuman tersebut menjadi gugur. Ini adalah pendapat Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah.
Dalil-dalil mereka sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah swt :
وَاللَّذَانَ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“ Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” ( Qs An Nisa’ : 16 )
Ayat di atas secara tegas memerintahkan untuk berpaling dari orang yang berzina, kemudian dia bertaubat dari perbuatannya. Perintah berpaling berarti tidak boleh menerapkan hukuman had atasnya.
Kedua : Firman Allah swt :
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“ Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Qs Al Maidah : 39 ) Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang mencuri, kemudian bertaubat dan memperbaiki diri, maka Allah menerima taubatnya, serta tidak dikenakan hukuman had kepadanya. Hal ini berlaku juga bagi orang yang berzina dan bertaubat.
Ketiga : Firman Allah swt :
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبْلِ أَن تَقْدِرُواْ عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“ Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Qs Al Maidah : 34 )
Para perampok dan pengacau keamanan yang mengancam nyawa dan harta masyarakat, jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka tidak boleh diterapkan hukuman had kepada mereka. Kalau saja mereka yang melakukan kejahatan yang sangat besar tersebut diterima taubat mereka tanpa diterapkan hukuman had, tentunya kejahatan perzinaan yang tidak mengancam hara dan nyawa, lebih berhak untuk diterima taubat mereka tanpa harus diterapkan hukuman had.
Keempat : Orang yang telah bertaubat seakan-akan dia tidak melakukan perbuatan tersebut, dan taubat itu sendiri menutupi dosa-dosa sebelumnya, maka hukuman had menjadi gugur dengan taubat tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“ Orang yang bertaubat dari dosanya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa. “ ( HR. Ibnu Majah dan Baihaqi. Hadist ini dihasankan Syekh Albani dalam Shohih Al Jami’, no. 3008 dan Shohih at-Targhib wa at-Tarhib , no. 314)
Pendapat Ketiga :
Taubat orang yang berzina diterima oleh Allah swt dan terbebas dari hukuman, karena perbuatan zina berhubungan dengan hak Allah. Kecuali jika pezina sendiri meminta diterapkan hukumanhad kepadanaya untuk membersihkan dirinya. Ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim.

Kongklusi / Kesimpulan :
Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa seorang yang berzina, jika belum diketahui oleh pemerintah, dan dia telah bertaubat dari perbuatannya, maka taubatnya diterima oleh Allah swt, dan secara otomati hukuman hadnya menjadi gugur.
* Apakah wajib baginya untuk melaporkan diri kepada pemerintah ?
Tidak wajib baginya untuk melaporkan diri kepada pemerintah, dan tidak boleh menceritakan perbuatan maksiatnya itu kepada orang lain tanpa ada keperluan. Tetapi justru dianjurkan untuk menutupi perbuatannya tersebut, jangan sampai seorangpun mengetahuinya. Dalil-dalilnya sebagai berikut
Pertama : Firman Allah swt setelah menjelaskan sejumlah dosa besar termasuk berzina :
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“ Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ ( Qs Al Furqan : 70 )
Kedua : Hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda:
لَا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
" Sesungguhnya Allah swt tidaklah menutupi seorang hamba di dunia, kecuali Allah juga akan menutupinya pada hari kiamat kelak. ( HR Muslim : 4691)
Ketiga : Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِي لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ
“Barangsiapa terjerumus pada perbuatan kotor ini maka hendaknya dia menutupinya dengan perlindungan Allah. Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah." ( HR Malik dan Ahmad ) Hadist ini dishahihkan Syekh Albani.

* Bagaimana sikap orang yang mengetahui perbuatan tersebut, apakah melaporkan kepada pemerintah atau diam saja ? Harus dirinci terlebih dahulu : jika orang itu bisa dinasehati secara diam-diam, dan dia mau mendengar nasehat dan mau bertaubat, maka sebaiknya ditutupi aibnya, dan tidak disebarluaskan. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“ Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat “ ( HR Muslim ) Wallahu A’lam,

Selasa, 12 April 2011

PENGARUH SABAR DAN SHOLAT DALAM MENYELESAIKAN PROBLEMATIKA HIDUP

Oleh :Ustaadunii : DR. Ahmad Zain An Najah, MA

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
” Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’ , ( yaitu ) orang-orang yang menyakini , bahwa mereka akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepad-Nya ” ( QS Al Baqarah : 45 -46 )
Ayat di atas mengandung beberapa pelajaran :
Pelajaran Pertama :
Bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk selalu bersabar dan menegakkan sholat di dalam menghadapi segala problematika hidup.
Adapun sabar secara bahasa adalah menahan, dikatakan : ” qutila fulanun shobron “ artinya : si fulan terbunuh dalam keadan ditahan. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar.
Pelajaran Kedua :
Sabar dibagi menjadi beberapa macam :
Pertama : Sabar di dalam ketaatan, yaitu menata diri untuk selalu mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rosul-Nya. Sabar di dalam ketaatan ini adalah tingkatan sabar yang paling tinggi, kenapa ? karena untuk melakukan suatu ketaatan, diperlukan kemauan yang sangat kuat, dan untuk menuju pintu syurga seseorang harus mampu melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan duri, ranjau dan segala sesuatu yang biasanya dia benci dan tidak dia sukai, sebagaimana sabda Rosulullah :
وَحُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
” Dan jalan menuju syurga itu dipenuhi dengan sesuatu yang tidak kita senangi ” ( HR Muslim )
Sabar dalam ketaatan ini harus melalui tiga fase :
Fase Pertama : Sabar sebelum beramal, ini meliputi perbaikan niat, yaitu mengikhlaskan amal hanya karena Allah swt , dan bertekad untuk mengerjakan ibadat tersebut sesuai dengan aturannya. Dalam hal ini Allah berfirman :
إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُوْلَـئِكَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
” Kecuali orang – orang yang bersabar dan beramal sholeh.”(Qs Hud:11)
Fase Kedua : Sabar ketika beramal, yaitu dengan selau mengingat Allah swt selama beramal, dan tidak malas untuk mengerjakan seluruh rukun, kewajiban dan sunah dari amal tersebut. Kalau sedang mengerjakan puasa umpamanya, maka dia harus tetap mengingat bahwa dirinya sedang puasa dan Allah selalu melihat seluruh amalannya, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah selama berpuasa dan berusaha untuk mengerjakan amalan sunah dan wajib, seperti membantu fakir miskin, memberikan ifthor kepada yang berpuasa, sholat berjama’ah dan sebagainya.
Fase ketiga : Sabar setelah beramal , yaitu dengan menahan diri untuk tidak mepublikasikan amalnya kepada orang lain, dan menjauhi diri dari riya’ dan hal-hal yang bisa menghapus amal perbuatannya. Dalam bersedekah umpamanya, maka setelah bersedekah, dia harus menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut sedekahnya dan harus menahan diri tidak menyakiti perasaan penerima sedekah. Allah swr berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى
” Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasan penerima ” ( Qs Al Baqarah : 264 )
Kedua : Sabar terhadap maksiat, yaitu selalu menahan diri untuk selalu menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rosul-Nya. Bentuk sabar ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan bentuk sabar yang pertama, karena meninggalkan sesuatu yang dilarang jauh lebih ringan daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah. Walaupun sebenarnya dalam masalah ini, kadang sifatnya sangat relatifnya, artinya bagi seseorang mungkin lebih ringan meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah, sementara bagi orang lain justru yang terjadi adalah sebaliknya., dia merasa lebih ringan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya daripada meninggalkan sesuatu yang dilarang. Inipun tergantung kepada bentuk larangan dan perintah. Umpamanya kebanyakan orang bisa bersabar untuk tidak berzina, akan tetapi tidak bisa bersabar untuk selalu mengerjakan sholat berjama’ah di masjid. Sebaliknya kebanyakan orang sangat sulit dan tidak bisa bersabar untuk meninggalkan ” ghibah ” ( membicarakan kejelekan orang lain ), akan tetapi sangat bisa dan sabar kalau diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga : Sabar terhadap musibah, yaitu menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah. Ini adalah bentuk sabar yang paling ringan, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya, dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya dia bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin yang tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Sabar dalam bentuk ini tersebut dalam firman Allah swt :
وَلَنَبلُوَنّكُم بِشَىءٍ مِنَ الخَوفِ وَالجُوعِ وَنَقصٍ مِنَ الأموَالِ وَالأَنفُسِ وَالثّمَراتِ وَبَشِرِ الصّابِرينَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.( QS Al Baqarah : 155 )
Dalam hadist Ummu Salamah disebutkan bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ مُصِيبَةٌ فَلْيَقُلْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ عِنْدَكَ احْتَسَبْتُ مُصِيبَتِي فَأْجُرْنِي فِيهَا وَأَبْدِلْنِي مِنْهَا خَيْرًا
” Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata : ” Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu, maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini ” ( HR Abu Daud )
Hadist di atas benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat, bahkan oleh Ummu Salamah sendiri, tepatnya ketika suaminya Abu Salamah pada detik-detik terakhir dari hidupnya dia berdo’a : ” Ya Allah gantilah untuk keluargaku seseorang yang lebih baik dariku ” Dan ketika Abu Salamah telah meninggal dunia, Ummu Salamah berdoa’ : Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu.
Kemudian apa yang terjadi setelah Ummu Salamah tetap sabar, tabah dan berdo’a sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah saw ? Ternyata Allah mengabulkan do’a tersebut dan Ummu Salamah mendapat ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rosulullah.
Pelajaran ketiga :
Sabar mempunyai tiga tingkatan :
Tingkatan Pertama : As Shobru billah, artinya : selalu meminta pertolongan dari Allah swt, dan menyakini bahwa Dialah yang memberikan kepadanya kesabaran , sehingga ketika bersabar tidaklah merasa sendirian, karena Allah selalu bersamanya. Dalam hal ini Allah berfirman :
وَاصبِر وَمَا صَبرُكَ إلا بِاللّهِ
” Dan bersabarlah , dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah ” ( QS An-Nahl : 127 )
Tingkatan Kedua : As Shobru lillah, artinya bahwa yang membuatnya dia bersabar adalah kecintaannya kepada Allah swt, ikhlas mengharap ridho-Nya saja. Dia bersabar bukan karena ingin dipuji atau dilihat orang lain, tetapi dia bersabar karena Allah memerintahnya demikian.
Tingkatan Ketiga : As Shobru ma’allah, artinya : komitmen seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah swt, dia selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Inilah tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan inilah sabarnya orang-orang Siddiqin.
Pelajaran Keempat :
Dalam ayat di atas Allah swt, selain memerintahkan seseorang untuk bersabar di dalam menghadapi semua problematikan hidup ini, Allah swt juga memerintahkan seorang muslim untuk menegakkan sholat .
Kenapa dipilih ibadat sholat, bukan ibadat-ibadat lainnya seperti puasa, haji, zakat ataupun yang lainnya ?
Jawabannya adalah bahwa sholat mempunyai pengaruh yang luar biasa pada diri seseorang sehingga dia bisa tabah, tegar dan teguh di dalam menghadapi segala problematika hidup. Ini sesuai dengan hadist yang menyebutkan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا حزبه أمر صلى
” Bahwasanya Rosulullah saw ketika sedang menghadapi masalah, langsung menegakkan sholat “ ( HR Abu Daud )
Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas as, ketika dalam suatu perjalan safar diberitahu bahwa salah satu keluarga dekatnya meninggal dunia, beliau langsung mengucapkan : Innaa lillahi wa innaa ilahi roji’un , kemudian berhenti di tepi jalan dan melakukan sholat, setelah itu beiau meneruskan perjalanannya seraya membaca surat Al Baqarah, ayat 45 di atas.
Pelajaran Kelima :
Sholat dalam ayat di atas, bisa berarti do’a. Dengan demikian maka arti ayat di atas adalah : “” Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan bersabar dan berdo’a. ” Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ وَاذْكُرُواْ اللّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلَحُونَ
” Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung ” ( Qs Al Anfal : 45 )
Ayat di atas kalau kita perhatikan secara seksama kata demi katanya ternyata mirip dengan ayat 45 dalam surat Al Baqarah, bahkan sampai nomer ayatnyapun sama yaitu 45. Artinya : Allah memerintahkan orang-orang yang beriman ketika menghadapi suatu masalah – dalam hal ini ketika berhadapan dengan musuh -, agar tetap teguh dan selalu mengingat Allah swt saw banyak-banyaknya. Teguh dalam surat Al Anfal ayat 45 sebanding dengan sabar dalam surat Al Baqarah ayat 45. Sedangkan mengingat Allah dalam surat Al Anfal ayat 45 sebanding dengan sholat dalam surat Al Baqarah ayat 45.
Selain itu, ada ayat serupa terdapat dalam surat Al Hijr, 97-99 yang memerintahkan Rosulullah saw dan kaum muslimin untuk bertasbih ( mensucIkan Allah ) dan bersujud kepada-Nya ketika menghadapi problematika hidup. Allah swt berfirman :
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ ، وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),
dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). ” ( QS Al Hijr : 97-99 )
Kalau kita bandingkan tiga ayat di atas kira-kira seperti di bawah ini :
QS. Al Baqarah : 45 = meminta bantuan ( dg SABAR + SHOLAT )
QS. Al Anfal:45 = menghadapi musuh ( dg TEGUH + MENGINGAT ALLAH)
QS Al Hijr : 97-99 = Ketika didustakan ( BERTASBIH + SHOLAT )
Subhanallah ..telah terjadi keserasian dan kesesuaian antara ayat satu dengan yang lain, dan ini merupakan salah satu bukti bahwa Al Qur’an datang dari Allah swt. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”( QS An Nisa’ : 82 )
Pelajaran Keenam :
Selain ayat-ayat di atas, disana ada beberapa hadist yang menunjukkan bahwa dzikir dan mengingat Allah adalah senjata utama setiap muslim di dalam menghadapi suatu problematika, diantara hadist-hadist tersebut adalah :
” Rosulullah saw ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa :
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ
” Wahai Yang Maha Hidup Kekal, Yang terus menerus mengurus ( mahluk-Nya ), hanya dengan rahmat-Mu saja, saya meminta pertolongan ” ( HR Tirmidzi )
” Rosulullah saw ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
:”Tiada Ilah kecuali Allah swt Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Maha Suci Allah Robb dari Arsy yang agung, dan segala puji bagi Allah Robb sekalian alam ” ( HR Ahmad )
” Rosulullah saw ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa :
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْحَلِيمُ الْحَكِيمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمُ
” Tiada Ilah kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Maha Penyantun, Tiada Ilah kecuali Allah,Yang mempunyai Arsy yang agung , Tiada Ilah kecuali Allah Yang Mempunyai langit tujuh, dan Yang mempunyai Arsy yang mulia .”.( HR Bukhari Muslim )
Rosululah saw bersabda : ” Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu jika kamu ditimpa suatu masalah atau ujian dalam urusan dunia ini, kemudian berdoa dengannya, niscaya akan ada jalan keluarnya ? yaitu do’anya nabi Yunus :
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنْ الظَّالِمِينَ.
” Bahwa tidak ada Ilah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”( HR Hakim )
Pelajaran Ketujuh :
Salah satu bukti bahwa sabar dan sholat akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akherat serta akan meringankan beban hidup ini adalah kisah nyata yang dialami oleh salah pemuda yang tinggal di wilayah Arab. Pada awalnya dia hidup dalam keadaan lebih dari cukup. Ayahnya adalah seorang guru ngaji di sebuah masjid. Walaupun begitu kesalehan ayahnya tidaklah menjadikannya seorang pemuda yang sholeh juga. Dia setiap hari bergelimangan dengan uang, sehingga terjerat dengan kehidupan yang gelap. Pada suatu hari terjadilah kecelakaan yang menimpa dirinya yang membuat kakinya lumpuh. Para dokter mengatakan bahwa tidak ada sebab berarti yang menyebabkan kakinya lumpuh, diperkirakan hanya gangguan syaraf karena benturan. Suatu hari ,ketika ia sedang turun dari mobil dengan kursi rodanya dengan maksud singgah di rumah temannya, tiba-tiba ia mendengar suara adzan yang sanggup menggetarkan hatinya yang selama ini keras. Suara adzan tersebut ternyata mampu meluluhkan hatinya, dan membuatnya rindu kepada masjid. Sejak itu dia mulai rajin ke masjid untuk melakukan sholat jama’ah, walaupun kakinya lumpuh, padahal di saat dia sehat dan kuat, kakinya tidak pernah sekalipun menginjak masjid. Maha suci Allah Yang menjadikan musibah sebagai jalan menuju hidayah dan kebaikan. Selang beberapa minggu dia dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba dia bermimpi melihat ayahnya bangkit dari kuburan seraya memegang bahunya sambil berkata : ” Wahai anakku janganlah engkau bersedih, karena Allah telah mengampuniku karenamu ” . Dan mimpi seperti itu berulang-ulang datang kepadanya setiap dia tidur. Setelah beberapa tahun lamanya dia konsisten melakukan sholat jama’ah di masjid dan biasanya ia duduk di atas kursi tepatnya di shof pertama yang paling ujung. Pada suatu hari, ketika ia sholat shubuh dan kebetulan sang imam membaca qunut panjang sekali, do’a tersebut mampu menggetarkan hatinya dan membuatnya nangis, secara tidak sengaja, tiba-tiba hatinya bergetar-getar sangat hebat seakan-akan ingin keluar dari dadanya….ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat, tetapi secara mendadak dia menjadi tenang kembali dan meneruskan sholatnya bersama imam hingga selesai. Setelah itu ia bangkit dari kursi secara tidak sengaja dan bisa berdiri kembali dan penyakitnya sembuh total. Subhanallah..beginilah Allah menunjukkan kepada para hamba-Nya tentang kekuatan sholat yang ternyata membuat seseorang bahagia di dunia dan akherat.
Pelajaran Kedelapan :
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan juga bahwa sholat merupakan sarana untuk mencapai sebuah kesabaran. Ketika Allah memerintahkan seseorang bersabar, mungkin kita akan bertanya-tanya : ” bagaimana caranya supaya bisa bersabar ? ” , maka Allah dalam ayat itu juga memberitahukan bahwa cara yang paling efektif untuk memupuk kesabaran adalah dengan selalu menegakkan sholat, dan mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin kita juga akan bertanya : ” Bersabar dan menegakkan sholat sesuai dengan aturannya adalah sesutau yang sangat berat, bagaimana caranya supaya jiwa ini tidak berat untuk selalu bersabar dan melakukan sholat tersebut ? ” Maka Allah swt pada ayat berikutnya menjelaskan caranya, yaitu dengan selalu mengingat kematian, selalu mengingat bahwa manusia ini cepat atau lambat akan bertemu dengan Allah swt di akherat nanti untuk dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang selama ini dikerjakan di dunia . Untuk mempermudah pemahaman , hal itu bisa digambarkan sebagai berikut :
- Dunia ini banyak problematika, maka harus dihadapi dengan SABAR.
- Untuk menumbuhkan dan memupuk kesabaran adalah dengan SHOLAT.
- Agar terasa ringan di dalam mengerjakan sholat dan bisa melakukannya dengan khusu’ adalah dengan selalu mengingat AKHERAT.
Inilah rahasia kenapa Rosulullah saw memerintahkan kita untuk selalu memperbanyak mengingat kematian, dalam salah satu hadistnya :
اسْتَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
” Perbanyaklah untuk selalu mengingat ” penghancur kelezatan ” ( yaitu kematian ) ” ( Hadist Hasan Riwayat Tirmidzi )
Dalam hal ini Umar bin Abdul Aziz pernah berkata : ” Perbanyaklah untuk selalu mengingat kematian, maka jika kamu bercukupan dalam hidup, niscaya dia akan mempersempitmu, dan jika kamu dalam kesempitan hidup, niscaya dia akan memperluaskannya untukmu . ”

Minggu, 27 Maret 2011

Merutinkan Kebaika

Oleh : Ustaadunii. Abu Umar Abdillah
Uswah dan Imamul muttaqin, Nabiyullah Muhammad SAW memiliki ciri khas yang luar biasa dalam menjalani aktivitas kebaikan. Amal dan ibadahnya disifati, “kaana diimatan” (amalnya rutin) yakni terus menerus tidak terputus-putus namun masih pada batas pertengahan, jauh dari sifat malas, namun tidak pula kelewat batas. Nabi SAW shalat di waktu malam dan juga tidur, beliau shaum dan juga berbuka, akan tetapi beliau kerjakan secara teratur. Sehingga enak dirasakan jiwa dan terbiasa bagi anggota badannya. Oleh karena itulah amal beliau SAW disifatkan dengan “kaana diimatan” (amalnya rutin), sedangkan makna “diimah” adalah hujan yang teratur, sedang dan tenang, tidak terlalu lebat, tak ada guruh dan tidak ada pula halilintar. Umumnya, hujan yang tidak teratur, atau dengan volume yang berlebih akan mendatangkan kerusakan, baik badai maupun banjir.
Begitu pula dengan karakter manusia. Semangat yang tidak terkendali, stamina yang tidak dijaga, ritme yang tidak teratur dalam menjalani suatu aktivitas, umumnya berdampak kepada keburukan. Meskipun pada asalnya, perbuatan itu berupa aktivitas yang positif. Semangat belajar yang mendadak dan menggebu, lalu belajar sehari semalam tanpa istirahat, hanya akan membuat kita loyo setelah itu. Begitupun dengan shalat malam. Terkadang seseorang tersulut motivasinya oleh suatu nasihat tentang fadhilah shalat malam, lalu dia menjalani malam tanpa tidur, semalaman ia berdiri untuk shalat. Seringkali ini juga menjadi sinyal, bahwa di hari-hari berikutnya ia akan kehilangan stamina, lalu akan meninggalkannya.
Alangkah indah bimbingan Nabi SAW yang mengajarkan kepada kita suatu kaedah,
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling rutin, meskipun sedikit.” (HR Muslim)
Hati Tenang, Badan Terasa Nyaman
Aktifitas kebaikan yang dilakukan secara rutin akan membuat hati menjadi tenang, badanpun terasa nyaman. Baik dalam hal belajar, beribadah secara khusus, maupun aktivitas lain yang bermanfaat seperti olah raga.
Jika kita merasa emosi belum terkendali, suasana hati labil, itu lebih dikarenakan aktivitas anggota badan yang labil, ekstrim dalam menjalankan sesuatu, ekstrim pula ketika meninggalkannya. Sehingga terkadang hati menjadi lunak sesaat, kemudian tiba-tiba menjadi keras kembali, terkadang di hadapannya ada sinar yang menerangi, namun sekejap saja kegelapan segera kembali. Inilah yang membuat hati tidak hidup dengan sehat dan bercahaya.
Abu Sulaiman Ad-Darani seorang ahli ibadah yang zuhud, dengan tawadhu’ berkata, “Meninggalkan syahwat mendatangkan pahala, istiqamah dalam beramal mendatangkan pahala, namun aku dan kamu termasuk orang yang menghidupkan satu malam, namun tidur dua malam, shaum satu hari, berbuka selama berhari-hari, padahal hati tidak bercahaya dalam kondisi seperti ini…”
Kalimat beliau, “namun aku dan kamu”, sepertinya lebih cocok ditujukan kepada kita sekarang ini. Sebagian kita mungkin pernah bersemangat menghafal al-Qur’an, tapi akhirnya ‘menyerah’ juga. Pernah getol mempelajari bahasa Arab, akhirnya ‘lelah’ juga. Pernah bersemangat qiyamul lail, pun akhirnya terasa berat untuk menjalaninya. Ini semua lantaran porsi yang tidak diperhitungkan dengan kemampuan, juga rutinitas yang tidak dipertahankan. Jika berusaha rutin, semuanya menjadi mudah dan ringan untuk dikerjakan. Apabila rutinitas telah terjaga, tidak mengapa meningkatkan porsi amal setahap demi setahap, karena jiwa telah siap menyangganya.
Mudawamah, Rahasia Orang Sukses
Mudawamah, atau kontinuitas dalam beraktivitas adalah satu kunci sukses meraih ketinggian martabat dan cita-cita. Imam Bukhari yang begitu lekat hafalannya, juga mengandalkan ‘mudawamah’ dalam membaca buku. Ibrahim al-Harabi, seorang pakar bahasa Arab, selama lima puluh tahun tak pernah absen menghadiri majlis bahasa Arab dan Nahwu. Imam Syafi’i yang demikian cerdas dan jenius juga mengandalkan rutinitas dalam belajar. Sudah menjadi kebiasaan beliau, menggunakan sepertiga malam yang pertama untuk belajar, membaca dan menulis, sedangkan sepertiga yang kedua untuk tidur, dan sepertiga malam terakhir untuk shalat.
Mungkin kita pernah belajar sepertiga malam, atau bahkan semalam suntuk, tapi sayang, hanya berlangsung beberapa kali saja. Kita mungkin juga pernah salat malam dengan panjang, tapi itu bisa dihitung dengan jari tangan saja.
Dalam hal ibadah, kita juga mendapatkan teladan yang sangat bagus pada generasi salaf yang shalih. Seperti Sa’id bin Musayyib yang dijuluki ‘ash-shaffiyyu’, ahli shaf, karena selama lima puluh tahun tidak pernah melihat punggung tatkala shalat lima waktu. Yakni beliau selalu berada di shaf paling depan.
Ulama-ulama terpercaya sepanjang generasi juga membiasakan hal serupa. Seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyah, yang membiasakan dzikir ba’da Shubuh, dan tidak keluar masjid hingga matahari telah terbit dan beranjak naik. Karena terbiasa, hingga seakan itu menjadi sarapan paginya, badan akan kehilangan gairah sepanjang hari jika pagi terlewatkan dari dzikir.
Ingin sukses meraih cita-cita? Atau ringan dalam menjalankan aktivitas ibadah? Bersungguh-sungguhlah untuk mempertahankan rutinitasnya. Mulai dari yang mudah, porsi yang terukur, lalu secara bertahap meningkatkan kuantitasnya. Selamat mencoba! Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita

Berbekal Untuk Hidup Setelah Mati

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr 18)
Ayat ini mengajak kita untuk senantiasa mengingat dan meneliti kembali bekal yang kita persiapkan untuk kehidupan setelah kematian. Faedah besar akan kita dapatkan jika kita melihat sisi kurang perbekalan yang mesti kita siapkan. Karena ini akan memacu kita untuk menutup kekurangan dan memperbanyak amal ketaatan. Tapi jika kita ujub, merasa telah mencapai derajat tertentu dalam keimanan, merasa telah memiliki bsnyak tabungan kebaikan, maka hal ini akan membuat kita terpedaya.
Tiga Cara Mengusir Ujub
Imam Syafi’i memberikan tips kepada kita supaya tidak lekas berbangga dengan amal yang berhasil kita tunaikan, atau dosa yang mampu kita tinggalkan. Beliau berkata, “Jika kamu khawatir terjangkiti ujub, maka ingatlah tiga hal; ridha siapa yang kamu cari, kenikmatan manakah yang kamu cari, dan dari bahaya manakah kamu hendak lari. Maka barangsiapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan memandang remeh apa yang telah dicapainya.”
Alangkah dalamnya nasihat beliau. Mari kita jawab tiga pertanyaan tersebut, lalu kita selami kedalaman makna dari nasihat tersebut.
Pertama, ridha siapa yang kamu cari? Jawaban idealnya tentu ridha Allah yang kita cari. Tapi bagaimana dengan aplikasinya? Kita tengok apa yang kita lakukan setiap hari, adakah setiap langkah, gerak-gerik kita, diam dan bicara kita, terpejam dan terjaganya mata kita selalu demi meraih ridha-Nya? Bahkan kegigihan dan pengorbanan manusia untuk mendapatkan ridha atasan, kekasih, atau untuk mendapat kewibawaan di kalangan masyarakat seringkali lebih hebat dari usaha dia untuk menggapai ridha Allah.
Kedua, Kenikmatan manakah yang kamu cari? Tentu kita akan menjawab, “kenikmatan jannah.” Sebagaimana doa yang selalu kita panjatkan, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jannah.” (HR Abu Dawud)
Tapi, sudahkah layak usaha yang kita lakukan sehari-hari itu diganjar dengan pahala jannah yang identik dengan kenikmatan tiada tara dan tak ada sesuatupun yang identik dengan kesengsaraan dan penderitaan? Berapa kalkulasi waktu yang kita pergunakan untuk beribadah kepada Allah, lalu bandingkan dengan keinginan kita untuk mendapatkan kenikmatan jannah.
Banyak orang rela bekerja sehari 8 jam, untuk mendapatkan rumah mewah sepuluh atau belasan tahun kemudian. Tapi, adakah rumah itu lebih mewah dari rumah dijannah yang digambarkan oleh Nabi, “batu-batanya dari emas dan batu-bata dari perak?” Manakah yang lebih luas, rumah dambaannya, ataukah rumah di jannah yang disebutkan Nabi saw, “Panjangnya sejauh 60 mil.” (HR Muslim)
Maka pikirkanlah, berapa waktu yang mesti kita pergunakan setiap harinya, agar kita mendapatkan rumah sebesar dan seindah itu? Barangsiapa merenungkan hal ini, niscaya akan menganggap bahwa amalnya belum seberapa. Belum sepadan antara usaha yang dia lakukan dengan ‘hadiah’ yang dijanjikan oleh Allah bagi orang mukmin di jannah.
Ketiga, dari bahaya manakah kita hendak lari? Tentu kita akan menjawab, “Dari siksa api neraka”, sebagaimana hal ini juga menjadi permohonan yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari neraka.” (HR Abu Dawud)
Masalahnya, adakah perbuatan yang kita lakukan setiap harinya sudah mencerminkan kondisi orang yang menghindar dari bahaya neraka yang amat dahsyat? Ataukah keadaan kita seperti yang digambarkan oleh seorang ulama salaf ketika memperhatikan banyak orang terlelap di waktu malam tanpa shalat, “Aku heran dengan jannah, bagaimana manusia bisa tidur lelap sedangkan katanya ia sedang memburunya. Dan aku heran terhadap neraka, bagaimana bisa manusia tidur nyenyak, sementara ia mengaku tengah lari dari bahayanya?”
Mungkin kita pernah melihat orang yang takut ditimpa suatu penyakit, takut ditangkap aparat, takut di PHK dari suatu perusahaan, takut dirampok dan lain-lain. Merekapun bertindak ekstra hati-hati dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi. Padahal itu semua bukan apa-apanya bila dibandingkan dengan ancaman neraka. Tapi adakah kita yang mengaku takut neraka lebih takut dan waspada dari keadaan mereka?
Tidak diragukan lagi, jika kita memikirkan ketiga perkara di atas, kita akan merasa, betapa amal kita masih jauh dari sempurna, masih jauh dari yang semestinya. Sehingga kita tak layak untuk ujub dan berbangga. Selayaknya kita menghitung kembali perbekalan kita, meneliti agar tak satupun tercecer, dan kita memilah dan memilih, mana yang harus dibawa, dan mana pula yang harus ditinggal.
Jangan Keliru Membawa Bekal
Semangat untuk beramal adalah baik. Namun setiap amal harus di dahului dengan ilmu yang benar. Jika tidak, bisa jadi bekal yang dibawa keliru. Ibarat seorang musafir yang membawa onggokan kerikil dalam perjalanan, disangkanya itu bekal yang membantunya dalam perjalanannya, tidak tahunya justru menjadi beban yang memberatkan perjalanannya. Ini perumpamaan bagi orang yang beramal tanpa dilandasi ilmu yang benar, sehingga ia terjerumus kepada bid’ah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maupun diajarkan oleh syariat. Allah mengabarkan nasib tragis di akhirat yang dialami oleh orang yang keliru membawa bekal,
“Katakanlah:”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi :104)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini,
“Ini adalah kondisi orang memiliki banyak amal, akan tetapi dia lakukan bukan untuk Allah atau tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw.”
Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan tujuan dan tindakan

HUKUM JUAL BELI BINATANG: Tokek/Cicak, Cacing, Tikus, & Binatang Berbisa Serta Bisanya

Pertama-tama perlu diketahui bahwa ucapan para ulama yang ada dalam masalah ini adalah dalam masalah cicak, hanya saja ucapan mereka itu juga berlaku bagi tokek karena keduanya dihukumi sama oleh para ulama. Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata dalam Nailul Authar (8/295), “Cicak (arab: al-wazg) itu termasuk binatang pengganggu dan bentuk jamaknya adalah al-awzag. Sementara tokek adalah hewan yang sejenis dengannya yang berbadan lebih besar.”

Kemudian, tokek/cicak adalah hewan yang haram untuk dimakan dengan tiga alasan:

1. Keduanya adalah hewan yang khabits/jelek dan bukan termasuk makanan yang thayyib/baik.

Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- berkata dalam Al Muhalla (7/405), “Cicak adalah salah satu binatang yang paling menjijikkan.”
Dan Allah telah mengharamkan semua makanan yang khabits dalam firman-Nya, “Dan dia menghalalkan yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk (menjijikkan).” (QS. Al-A’araf: 157)

2. Keduanya adalah hewan yang fasiq.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dia berkata:
أَنَّ النبيَّ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغَ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

“Sesungguhnya Nabi -shallallaahu alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya sebagai fuwaisiq (binatang jahat).” (HR. Muslim no. 2238)

Dan para sahabat memahami bahwa semua hewan yang dinamakan fasik maka dia haram untuk dimakan. Ibnu Umar berkata, “Siapa yang makan burung gagak? Padahal Rasulullah telah menyebutnya fasiq. Demi Allah, dia bukanlah termasuk makanan yang baik.” Diriwayatkan juga yang semisalnya dari Urwah bin Az-Zubair.

Aisyah -radhiallahu anha- berkata, “Aku sungguh heran terhadap orang-orang yang memakan burung gagak, padahal Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan untuk membunuh gagak dan menyebutnya fasiq. Demi Allah, dia bukanlah termasuk makanan yang baik.” Lihat ucapan ketiga sahabat ini dalam Al-Muhalla: 7/404

Maka dari tiga ucapan sahabat ini menunjukkan bahwa semua hewan yang fasik dan yang diperintahkan untuk dibunuh maka dia juga haram untuk dimakan, wallahu a’lam.

3. Keduanya diperintahkan untuk dibunuh. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ

“Barangsiapa yang membunuh cicak pada pukulan pertama maka dituliskan untuknya seratus kebaikan, jika dia membunuhnya pada pukulan kedua maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan pada pukulan ketiga maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu.” (HR. Muslim no. 2240)

Banyak di antara ulama yang menyebutkan sebuah kaidah yang berbunyi: Semua hewan yang boleh dibunuh maka dia haram untuk dimakan, dan hal itu menunjukkan pengharaman, karena perintah untuk membunuhnya -padahal telah ada larangan untuk membunuh hewan-hewan ternak yang boleh dimakan tapi bukan bertujuan untuk dimakan-, menunjukkan kalau dia adalah haram. Kemudian, yang nampak dan yang langsung dipahami bahwa semua hewan yang Rasulullah  izinkan untuk membunuhnya tanpa melalui jalur penyembelihan yang syar’iyah adalah hewan yang haram untuk dimakan. Karena seandainya dia bisa dimanfaatkan dengan dimakan maka beliau pasti  tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya, sebagaimana yang jelas terlihat. Lihat Bidayah Al-Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithi (1/273)

Jadi, tokek/cicak adalah hewan yang haram untuk dimakan. Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (15/186), “Dan cicak/tokek telah disepakati bahwa dia adalah hewan yang haram dimakan.”

Setelah ini dipahami, maka sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah bersabda:
إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad: 1/247, 322 dan Abu Dawud no. 3488)

Maksud ‘diharamkan harganya’ adalah termasuk di dalamnya larangan memperjualbelikannya, menyewakannya, dan semua perkara yang menjadikan dia mempunyai harga.

Dari keterangan yang telah lalu juga dipahami bahwa cicak/tokek bukanlah termasuk harta secara syar’i dia diperintahkan untuk dibunuh, seandainya dia adalah harta maka tidak mungkin dia diperintahkan dibunuh karena itu berarti perbuatan membuang harta dengan percuma. Dan para ulama menyebutkan kaidah yang berbunyi: Semua yang bukan harta maka tidak boleh mengeluarkan harta untuknya.

Kesimpulannya, cicak/tokek haram untuk diperjualbelikan dengan dua alasan: Karena dia haram untuk dimakan dan karena dia bukanlah harta sehingga tidak boleh mengeluarkan harta untuk membelinya.

Adapun membolehkannya dengan alasan akan dijadikan obat sehingga ini termasuk perkara darurat yang bisa menjadikan hal yang haram itu dibolehkan, maka ini adalah dalih yang sangat lemah dengan dua alasan:

1. Kaidah ‘keadaan darurat menjadikan hal yang haram diperbolehkan’ hanya bisa diterapkan jika tidak ada jalan lain untuk menghilangkan keadaan darurat itu kecuali dengan mengerjakan hal yang haram itu. Tapi kenyataannya, masih ada jalan lain untuk mengobati/menyembuhkan penyakit yang katanya bisa disembuhkan dengan tokek.

2. Kaidah ini tidak berlaku dalam masalah pengobatan, karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menegaskan:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِي حَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat kalian pada sesuatu yang haram.” (HR. Ibnu Hibban -sebagaimana dalam Al-Mawarid no. 1397 dan Al-Baihaqi (10/5) dari Ummu Salamah)

Dari Abu Ad-Darda` beliau berkata:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوُوْا وَلاَ تَدَاوُوا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah -Azza wa Jalla- menurunkan penyakit dan obat dan Dia menjadikan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah kalian dan jangan kalian berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud no. 3874 dan Al-Baihaqi (10/5))

Abu Hurairah juga berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ

“Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- melarang menggunakan obat yang khabits/buruk.” (HR. Abu Daud no. 3870)
Wallahu a’lam bishshawab.

Perbedaan MANI, MADZI, KENCING, dan WADI

Penulis: Al Ustadz Abu Muawiah Hammad

Tahukan anda apa perbedaan antara keempat perkara di atas?
Mengetahui hal ini adalah hal yang sangat penting, khususnya perbedaan antara mani dan madzi, karena masih banyak di kalangan kaum muslimin yang belum bisa membedakan antara keduanya. Yang karena ketidaktahuan mereka akan perbedaannya menyebabkan mereka ditimpa oleh fitnah was-was dan dipermainkan oleh setan. Sehingga tidaklah ada cairan yang keluar dari kemaluannya (kecuali kencing dan wadi) yang membuatnya ragu-ragu kecuali dia langsung mandi, padahal boleh jadi dia hanyalah madzi dan bukan mani. Sudah dimaklumi bahwa yang menyebabkan mandi hanyalah mani, sementara madzi cukup dicuci lalu berwudhu dan tidak perlu mandi untuk menghilangkan hadatsnya.

Karenanya berikut definisi dari keempat cairan di atas, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaan di antara mereka:

1. Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’.

2. Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.

3. Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.

4. Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau onani -wal ‘iyadzu billah-, dan tubuh akan terasa lelah setelah mengeluarkannya.

Berhubung kencing dan wadi sudah jelas kapan waktu keluarnya sehingga mudah dikenali, maka berikut kesimpulan perbedaan antara mani dan madzi:

a. Madzi adalah najis berdasarkan ijma’, sementara mani adalah suci menurut pendapat yang paling kuat.

b. Madzi adalah hadats ashghar yang cukup dihilangkan dengan wudhu, sementara mani adalah hadats akbar yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub.

c. Cairan madzi lebih tipis dibandingkan mani.

d. Mani berbau, sementara madzi tidak (yakni baunya normal).

e. Mani keluarnya terpancar, berbeda halnya dengan madzi. Allah Ta’ala berfirman tentang manusia, “Dia diciptakan dari air yang terpencar.” (QS. Ath-Thariq: 6)

f. Mani terasa keluarnya, sementara keluarnya madzi kadang terasa dan kadang tidak terasa.

g. Waktu keluar antara keduanyapun berbeda sebagaimana di atas.

h. Tubuh akan melemah atau lelah setelah keluarnya mani, dan tidak demikian jika yang keluar adalah madzi.

Karenanya jika seseorang bangun di pagi hari dalam keadaan mendapatkan ada cairan di celananya, maka hendaknya dia perhatikan ciri-ciri cairan tersebut, berdasarkan keterangan di atas. Jika dia mani maka silakan dia mandi, tapi jika hanya madzi maka hendaknya dia cukup mencuci kemaluannya dan berwudhu. Berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang orang yang mengeluarkan madzi:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ

“Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah kamu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

[Update: Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata:
أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَتْ ذَلِكِ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ. فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ. قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ, فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟! إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ فَمِنْ أَيِّهِمَا عَلَا أَوْ سَبَقَ يَكُونُ مِنْهُ الشَّبَهُ

“Bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi." Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." (HR. Muslim no. 469)

Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/222), "Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”]

Tambahan:
1. Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri secara marfu’:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ

“Sesungguhnya air itu hanya ada dari air.” (HR. Muslim no. 343)
Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya air (mani).

2. Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan adanya syahwat ketika keluarnya mani -dalam keadaan terjaga. Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat -misalnya karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang semacamnya- maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam.
Demikian sekilas hukum dalam masalah ini, insya Allah pembahasan selengkapnya akan kami bawakan pada tempatnya.

Cara Termudah Menghafal Al-Qur`an Al-Karim

Segala pujian hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabat seluruhnya.
Keistimewaan metode ini adalah seseorang akan memperoleh kekuatan dan kemapanan hafalan serta dia akan cepat dalam menghafal sehingga dalam waktu yang singkat dia akan segera mengkhatamkan Al-Quran. Berikut kami akan paparkan metodenya beserta pencontohan dalam menghafal surah Al-Jumuah:
1. Bacalah ayat pertama sebanyak 20 kali.
2. Bacalah ayat kedua sebanyak 20 kali.
3. Bacalah ayat ketiga sebanyak 20 kali.
4. Bacalah ayat keempat sebanyak 20 kali
5. Keempat ayat di atas dari awal hingga akhir digabungkan dan dibaca ulang sebanyak 20 kali.
6. Bacalah ayat kelima sebanyak 20 kali.
7. Bacalah ayat keenam sebanyak 20 kali.
8. Bacalah ayat ketujuh sebanyak 20 kali.
9. Bacalah ayat kedelapan sebanyak 20 kali.
10. Keempat ayat (ayat 5-8) di atas dari awal hingga akhir digabungkan dan dibaca ulang sebanyak 20 kali.
11. Bacalah ayat pertama hingga ayat ke 8 sebanyak 20 kali untuk memantapkan hafalannya.
Demikian seterusnya pada setiap surah hingga selesai menghafal seluruh surah dalam Al-Quran. Jangan sampai kamu menghafal dalam sehari lebih dari seperdelapan juz, karena itu akan menyebabkan hafalanmu bertambah berat sehingga kamu tidak bisa menghafalnya.

JIKA AKU INGIN MENAMBAH HAFALAN PADA HARI BERIKUTNYA, BAGAIMANA CARANYA?
Jika kamu ingin menambah hafalan baru (halaman selanjutnya) pada hari berikutnya, maka sebelum kamu menambah dengan hafalan baru dengan metode yang aku sebutkan di atas, maka anda harus membaca hafalan lama (halaman sebelumnya) dari ayat pertama hingga ayat terakhir (muraja’ah) sebanyak 20 kali agar hafalan ayat-ayat sebelumnya tetap kokoh dan kuat dalam ingatanmu. Kemudian setelah mengulangi (muraja’ah) maka baru kamu bisa memulai hafalan baru dengan metode yang aku sebutkan di atas.

BAGAIMANA CARANYA AKU MENGGABUNGKAN ANTARA MENGULANG (MURAJA’AH) DENGAN MENAMBAH HAFALAN BARU?
Jangan sekali-kali kamu menambah hafalan Al-Qur`an tanpa mengulang hafalan yang sudah ada sebelumya. Hal itu karena jika kamu hanya terus-menerus melanjutkan menghafal Al-Qur’an hingga khatam tapi tanpa mengulanginya terlebih dahulu, lantas setelah khatam kamu baru mau mengulanginya dari awal, maka secara tidak disadari kamu telah banyak kehilangan hafalan yang pernah dihafal. Oleh karena itu metode yang paling tepat dalam menghafal adalah dengan menggabungkan antara murajaah (mengulang) dan menambah hafalan baru. Bagilah isi Al-Qur`an menjadi tiga bagian,yang mana satu bagian berisi 10 juz. Jika dalam sehari kamu telah menghafal satu halaman maka ulangilah dalam sehari empat halaman yang telah dihafal sebelumnya hingga kamu menyelesaikan 10 juz. Jika kamu telah berhasil menyelesaikan 10 juz maka berhentilah menghafal selama satu bulan penuh dan isi dengan mengulang apa yang telah dihafal, dengan cara setiap hari kamu mengulangi (meraja’ah) sebanyak 8 halaman.
Setelah selesai satu bulan kamu mengulangi hafalan, sekarang mulailah kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, sambil kamu mengulangi setiap harinya 8 halaman hingga kamu bisa menyelesaikan hafalan 20 juz. Jika kamu telah menghafal 20 juz maka berhentilah menghafal selama 2 bulan untuk mengulangi hafalan 20 juz, dimana setiap hari kamu harus mengulang (meraja’ah) sebanyak 8 halaman. Jika sudah mengulang selama dua bulan, maka mulailah kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, sambil kamu mengulangi setiap harinya 8 halaman hingga kamu bisa menyelesaikan seluruh Al-Qur’an.
Jika anda telah selesai menghafal semua isi Al-Qur`an, maka ulangilah 10 juz pertama secara tersendiri selama satu bulan, dimana setiap harinya kamu mengulang setengah juz. Kemudian pindahlah ke 10 juz berikutnya, juga diulang setengah juz ditambah 8 halaman dari sepuluh juz pertama setiap harinya. Kemudian pindahlah untuk mengulang 10 juz terakhir dari Al-Qur`an selama sebulan, dimana setiap harinya mengulang setengah juz ditambah 8 halaman dari 10 juz pertama dan 8 halaman dari 10 juz kedua.

BAGAIMANA CARA MERAJA’AH AL-QURAN (30 JUZ) SETELAH AKU MENYELESAIKAN METODE MURAJA’AH DI ATAS?
Mulailah mengulangi Al-Qur’an secara keseluruhan dengan cara setiap harinya mengulang 2 juz, dengan mengulanginya 3 kali dalam sehari. Dengan demikian maka kamu akan bisa mengkhatamkan Al-Qur’an sekali setiap dua minggu.
Dengan metode seperti ini maka dalam jangka satu tahun (insya Allah) kamu telah mutqin (kokoh) dalam menghafal Al-Qur’an, dan lakukanlah cara ini selama satu tahun penuh.

APA YANG AKU LAKUKAN SETELAH MENGHAFAL AL-QUR’AN SELAMA SATU TAHUN?
Setelah menguasai hafalan dan mengulangInya dengan itqan (mantap) selama satu tahun, hendaknya bacaan Al-Qur’an yang kamu baca setiap hari hingga akhir hayatmu adalah bacaan yang dilakukan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- semasa hidup beliau. Beliau membagi isi Al-Qur`an menjadi tujuh bagian (dimana setiap harinya beliau membaca satu bagian tersebut), sehingga beliau mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sepekan.
Aus bin Huzaifah -rahimahullah- berkata: Aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, “Bagaimana caranya kalian membagi Al-Qur`an untuk dibaca setiap hari?” Mereka menjawab:
نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ وَخَمْسَ سُوَرٍ وَسَبْعَ سُوَرٍ وَتِسْعَ سُوَرٍ وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً وَحِزْبَ الْمُفَصَّلِ مِنْ قَافْ حَتَّى يُخْتَمَ
“Kami membaginya menjadi (tujuh bagian yakni): Tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb al-mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir (mushaf).” (HR. Ahmad no. 15578).
Maksudnya:
-Hari pertama: Mereka membaca surat “al-fatihah” hingga akhir surat “an-nisa`”.
-Hari kedua: Dari surat “al-maidah” hingga akhir surat “at-taubah”.
-Hari ketiga: Dari surat “Yunus” hingga akhir surat “an-nahl”.
-Hari keempat: Dari surat “al-isra” hingga akhir surat “al-furqan”.
-Hari kelima: Dari surat “asy-syu’ara” hingga akhir surat “Yasin”.
-Hari keenam: Dari surat “ash-shaffat” hingga akhir surat “al-hujurat”.
-Hari ketujuh: Dari surat “qaaf” hingga akhir surat “an-nas”.
Para ulama menyingkat bacaan Al-Qur`an Nabi -shallallahu alaihi wasallam- ini menjadi kata: ”فَمِي بِشَوْقٍ“. Setiap huruf yang tersebut menjadi simbol dari awal surat yang dibaca oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pada setiap harinya. Maka:
- Huruf “fa`” adalah simbol dari surat “al-fatihah”. Maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari pertama dimulai dari surah al-fatihah.
- Huruf “mim” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari kedua dimulai dari surah al-maidah.
- Huruf “ya`” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari ketiga dimulai dari surah Yunus.
- Huruf ”ba`” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari keempat dimulai dari surah Bani Israil yang juga dinamakan surah al-isra`.
- Huruf “syin” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari kelima dimulai dari surah asy-syu’ara`.
- Huruf “waw” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari keenam dimulai dari surah wash shaffat.
- Huruf “qaaf” maksudnya bacaan Al-Qur`an beliau di hari ketujuh dimulai dari surah qaf hingga akhir muashaf yaitu surah an-nas.
Adapun pembagian hizib yang ada pada Al-Qur an sekarang, maka itu tidak lain adalah buatan Hajjaj bin Yusuf.

BAGAIMANA CARA MEMBEDAKAN ANTARA BACAAN YANG MUTASYABIH (AYAT YANG MIRIP) DALAM AL-QUR’AN?
Cara terbaik untuk membedakan antara dua ayat yang kelihatannya menurut kamu hampir sama (mutasyabih), adalah dengan cara membuka mushaf dan carilah kedua ayat tersebut. Lalu carilah perbedaan antara kedua ayat tersebut, cermatilah perbedaan tersebut, kemudian buatlah tanda/catatan (di dalam hatimu) yang bisa kamu jadikan sebagai tanda untuk membedakan antara keduanya. Kemudian, ketika kamu melakukan murajaah hafalan, maka perhatikanlah perbedaan tersebut secara berulang-ulang sampai kamu mutqin dalam mengingat perbedaan antara keduanya.

BEBERAPA KAIDAH DAN KETENTUAN DALAM MENGHAFAL AL-QUR`AN:
1- Kamu harus menghafal melalui bantuan seorang guru yang bisa membenarkan bacaanmu jika salah.
2- Hafalkanlah 2 halaman setiap hari: 1 halaman setelah subuh dan 1 halaman setelah ashar atau maghrib. Dengan metode seperti ini (insya Allah) kamu akan bisa menghafal Al-Qur`an secara mutqin dalam kurun waktu satu tahun. Tetapi jika kamu memperbanyak kapasitas hafalan setiap harinya maka kemampuan menghafalmu akan melemah.
3- Menghafallah mulai dari surat an-nas hingga surat al-baqarah karena hal itu lebih mudah. Tapi setelah kamu menghafal Al-Qur`an maka urutan meraja’ahmu dimulai dari Al-Baqarah sampai An-Nas.
4- Dalam menghafal hendaknya menggunakan satu mushaf saja (baik dalam cetakan maupun bentuknya), karena hal itu sangat membantu dalam menguatkan hafalan dan agar lebih cepat mengingat letak-letak ayatnya, ayat apa yang ada di akhir halaman ini dan ayat apa yang ada di awal halaman sebelahnya.
5- Setiap orang yang menghafal Al-Qur’an pada 2 tahun pertama biasanya apa yang telah dia hafal masih mudah hilang, dan masa ini disebut fase at-tajmi’ (pengumpulan hafalan). Karenanya janganlah kamu bersedih karena ada sebagian hafalanmu yang kamu lupa atau kamu banyak keliru dalam hafalan. Ini adalah fase yang sulit sebagai ujian bagimu, dan ini adalah fase rentan yang bisa menjadi pintu masuknya setan untuk menghentikan kamu dari menghafal Al-Qur`an. Tolaklah was-was tersebut dari dalam hatimu dan teruslah menghafal, karena dia (menghafal Al-Qur`an) merupakan perbendaharaan harta yang tidak diberikan kepada sembarang orang.

[Oleh: Asy-Syaikh Dr. Abdul Muhsin Muhammad Al-Qasim, imam dan khathib di Masjid Nabawi]

Keutamaan Mengasuh Anak Wanita

Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Saya pernah dikunjungi oleh seorang wanita yang mempunyai dua orang anak perempuan. Kemudian wanita tersebut meminta makanan kepada saya. Sayangnya, pada saat itu, saya sedang tidak mempunyai makanan kecuali sebiji kurma yang langsung saya berikan kepadanya. Kemudian wanita itu menerimanya dengan senang hati dan membagikannya kepada dua orang anak perempuannya tanpa sedikitpun dia makan. Setelah itu, wanita tersebut bersama dua orang anak perempuannya pergi. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumah. Lalu saya menceritakan kepada beliau tentang wanita dan kedua anak perempuannya itu. Mendengar cerita saya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang diuji dengan memiliki anak-anak perempuan, lalu dia dapat mengasuh mereka dengan baik, maka anak perempuannya itu akan menjadi penghalangnya baginya dari api neraka kelak.” (HR. Al-Bukhari no. 1329 dan Muslim no. 2629)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
“Barangsiapa yang mengasuh dua orang anak perempuannya hingga dewasa, maka dia dan aku akan datang bersamaan pada hari kiamat kelak.” Beliau jari-jemarinya.” (HR. Muslim no. 2631)

Penjelasan ringkas:
Anak wanita adalah insan yang lemah, dia tidak diciptakan untuk bisa berdiri sendiri, karenanya biasanya dia membutuhkan seseorang yang bisa mengasuhnya. Tatkala orang-orang di masa jahiliah sudah menjadi adat mereka merendahkan dan menghinakan kaum wanita, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang dengan memberikan motifasi dan janji pahala yang besar kepada siapa saja yang mendidik mereka, memuliakan mereka, serta berbuat baik kepada mereka.

Kedua hadits di atas menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mempunyai anak wanita lalu dia mendidik dan mengasuh mereka dengan baik. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjamin kedekatan orang itu dengan diri beliau dan beliau mengabarkan bahwa anak-anak perempuan tersebut bisa menjadi syafaat bagi mereka yang akan melindungi mereka dari api neraka.

Hanya saja butuh diingat bahwa keutamaan terlindung dari api neraka ini hanya berlaku bagi yang mempunyai anak wanita kemudian dia mengasuh dengan baik serta mendidik mereka dengan pendidikan yang islami. Adapun bagi yang mempunyai anak wanita tapi dia tidak memperdulikan pengasuhan dan pendidikan mereka maka dia tidak mendapatkan janji pahala di atas. Syafaat ini juga hanya didapatkan oleh orang yang muslim, karena sudah dimaklumi bersama bahwa orang kafir atau yang berbuat kesyirikan tidak berhak mendapatkan syafaat sama sekali.

Amanah yang Mendatangkan Berkah

Ibnu Jarir ath-Thabari bercerita, “Saya berada di Mekah saat musim haji. Saya melihat seseorang dari Khurasan berkata, “Wahai sekalian orang yang berhaji, penduduk Mekah ataupun pendatang, saya kehilangan sebuah kantong berisi uang seribu dinar, bagi yang menemukan dan mengembalikannya, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik, membebaskannya dari neraka, serta mendapatkan pahala yang besar di hari hisab.”
Lalu seorang kakek berdiri dan berkata, “Wahai orang Khurasan, negeri kami sedang krisis, pintu pencaharian juga lagi susah, boleh jadi harta itu ditemukan oleh seorang mukmin yang fakir lagi tua, lalu ia berjanji akan mengembalikannya kepadamu selagi diberi upah sebagian saja agar menjadi harta yang halal.” Orang Khurasan itu berkata, “Berapa kira-kira hadiah yang diharapkan?” Kakek itu berkata, “Sekitar sepuluh persennya, yakni seratus dinar.” Orang Khurasan itu berkata, “Aku tidak rela, aku serahkan saja urusannya kepada Allah, aku akan menuntutnya di Hari Kiamat, hasbunallah wa ni’mal wakiil.”
Aku (Ibnu Jarier) berkata dalam hati, “Kakek itu seorang yang fakir, jangan-jangan dia telah menemukan barang itu, lalu ingin mendapatkan sebagian darinya.” Maka aku mengikutinya hingga ia sampai ke rumahnya. Ternyata dugaanku benar, aku mendengar ia memanggil istrinya dan berkata, “Wahai Lubabah, saya bertemu dengan pemilik dinar itu, tapi dia tidak mau memberi hadiah sedikitpun bagi yang menemukannya. Tatakala aku memintanya untuk memberikan seratus dinar bagi yang menemukannya, dia menolak dan akan menyerahkan urusannya kepada Allah, lalu apa yang harus aku perbuat wahai Lubabah? Saya harus mengembalikannya, saya takut kepada Allah.”
Sang istri berkata, “Suamiku, aku sudah hidup miskin bersamamu selama 50 tahun, sementara kamu mempunyai banyak tanggungan. Ambil saja harta itu, lalu kamu berikan sisanya setelah kamu mencukupi tanggunganmu dan melunasi hutang-hutangmu.”
Kakek tua itu berkata, “Wahai Lubabah, apakah aku akan makan harta haram setelah aku bersabar dengan kefakiranku selama 86 tahun, lalu aku relakan tubuhku dilalap api neraka? Apakah aku rela mendapatkan murka Allah sementara aku telah dekat dengan liang kuburku? Demi Allah aku tidak akan melakukannya.”
(Keesokan harinya, terjadilah peristiwa seperti hari sebelumnya, pemilik dinar itu tak hendak memberikan upah bagi yang menemukannya, meskipun hanya dengan sepuluh dinar, dan dia menyerahkan urusannya kepada Allah. Hal yang sama juga terjadi pada hari yang ketiga)
Hingga kemudian sang kakek berkata, ”Wahai orang Khurasan, ayo ikut aku, dinarmu ada padaku, saya tidak bisa tidur sejak menemukan harta itu.”
Orang Khurasan itu mengikuti sang kakek, hingga tatakala sampai di rumah, sang kakek menyerahkan dinar itu dan berkata, ”Ambillah hartamu, semoga Allah mengampuniku dan memberikan karunia-Nya kepadaku.” Tanpa ragu, orang Khurasan itu mengambil uangnya. Namun tatkala hendak keluar rumah, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan berkata, ”Wahai Kakek, ayahku telah meninggal, dia mewarisiku uang sebanyak 3000 dinar, lalu berwasiat, ”Keluarkanlah yang sepertiganya untuk orang yang menurutmu paling layak.” Lalu aku mengikat sepertiganya dalam kantong ini hingga bertemu dengan orang yang layak mendapatkannya. Demi Allah, saya tidak melihat orang yang lebih layak mendapatkannya selain Anda. Ambillah seluruhnya, semoga Allah memberkahimu, dan membalasmu dengan kebaikan karena amanahmu, juga kesabaranmu saat berada dalam kefakiran.” Orang itupun menyerahkan uang seribu dinar itu, kemudian pergi. (Arsyif Multaqa ahlil hadits)( Majalah arrisalah )

Rabu, 02 Februari 2011

Keajaiban sedekah

Sudahkah anda mendapatkan keajaiban sedekah yang selama ini telah terbukti oleh banyak orang dan merasakan hikmah di balik sedekah tersebut. Kali ini aku ingin berbagi tentang keajaiban memberikan sedekah yang dipopulerkan oleh ustad yusuf mansyur. Menurut sang ustad kalau anda ingin sukses, bersedekah lah. Kalau anda ingin kaya, bersedekahlah; atau kalau anda lagi ndak punya duit bersedekahlah juga biar dapat duit…? Lho nggak punya duit kok disuruh bersedekah ini gimana ustad?…Yah begitulah ustad yang satu ini pokoknya dia seumur hidup bersedekah agar bahagia dunia dan juga bahagia di akhirat.

Siapa sangka ustad yusuf mansyur yang sangat terkenal itu, dulunya pernah menjalani masa-masa yang sulit dan mungkin sangat jauh dari arti kesuksesan.

Pernah di suatu acara pengajian ada seorang pengusaha muda yang sudah bangkrut dan semua asetnya terancam hilang disita bank. Pengusaha ini datang ke ustad yusuf mansyur dan dengan wajah sedih dan memelas meminta nasehat kepada sang ustad. Kemudian apa yang dikatakan sang ustad?

“baiklah bapak saya sudah tahu permasalahan bapak yang dicertakan dari awal sampai akhir. Namun saya tany satu hal saja, bersediakah bapak bersedekah?”. Lalu pengusaha itu menjawab” saya bersedia ustad untuk bersedekah namun apa yang bisa saya sedekahkan ustad semua harta benda saya sudah habis dan terancam di sita oleh bank untuk melunasi hutang-hutang perusahaan saya”

Sang ustad bertanya lagi “ apakah benar bapak sudah tidak ada lagi yang bisa disedekahkan?”

Dengan sedikit ragu dan berpikir si pengusaha tadi menjawab “ oh ya ustad saya masih punya bebrapa puluh dollar disaku saya, itupun hanya untuk jaga-jaga”

Sang ustad bertanya lagi “ baiklah kalau memang itu yang bapak punya, sedekahkan saja dollar itu tetapi dengan syarart harus ikhlas”

Akhirnya si pengusaha tadi bersedekah dengan uang dia miliki tsb. Sebelum dia beranjak dari tempat pengajian tersebut, tiba-tiba si pengusaha tadi seperti teringat sesuatu kemudian berkata kepada sang ustad” oh ya ustad saya masih mempunyai satu rumah yang saya tempati apakah itu bisa saya sedekahkan?”

Sang ustad sepertinya berpikir sejenak dan untuk memastikan kesungguhan si pengusaha tadi ia bertanya lagi” apakah benar rumahmu akan disedekahkan?’.

Si pengusaha tadi dengan yakin dan mantap mengatakan “ benar ustad saya sudah mantap untuk bersedekah”

Melihat kesungguhan hati pengusaha itu akhirnya sang ustad memberikan nasehatnya” baiklah kalau itu sudah menjadi kesungguhan hati bapak, begini saja. Rumah itu bapak jual dan hasil penjualannya separo bapak sedekahkan sedangkan yang separo lagi untuk bapak beli rumah lagi yang lebih kecil dan untuk biaya hidup yang lain”

Singkat cerita berkat sedekahnya yang tulus itu akhirnya doa pengusaha ini terkabul dan tanpa disangka-sangka dia mendapatkan proyek yang dapat menutup semua hutang-hutangnya sebelumnya.

Sungguh suatu keajaiban sedekah begitu nyata bagi mereka yang meyakini. Kalau kita percaya keajaiban, keajaiban itu pasti akan datang kepada kita walaupun kelihatannya tidak mungkin menjadi mungkin.

Sang ustad memang seorang yang telah mengalami sendiri begitu banyak manfaat dari sedekah. Dan dia percaya bahwa dengan sedekah kita akan meraih lebih banyak kesuksesan. Begitu prinsip ustad yang pernah dipenjara dan memulai usahanya dari nol itu.

Bahkan ustad ini pertama kali menulis buku nya yang best seller dari balik jeruji (karena tersangkut masala hutang piutang). Pada saat itu sang ustad ini meminta secarik kertas dan pulpen kepada petugas penjara. Bahkan oleh si penjaga dia diejek” Mau nulis surat cinta Ya? Mana ada cewek yang mau sama kamu seorang napi gitu?”

Namun dengan bekal semangat pantang menyerah dan dia percaya kepada keajaiban akhirnya dia berhasil menyelesaikan buku pertamanya dg judul “menemukan Tuhan”(sorry kalau ada kesalahan judul) yang akhirnya jadi best seller tersebut.

Setelah lepas dari pejara akhirnya sang ustad menikah dengan seorang gadis begitu lugu dan jujur yang tidak mau tahu asal usul sang ustad yang nota bene bekas narapidana itu.

Mulailah kehidupan sang ustad sebagai penjual mie ayam dipinggir jalan. Bahkan setiap selesai berjualan mie ayam sore harinya separo dari penghasilannya dia sedekahkan. ( Sungguh sesuatu yang luar biasa pak ustad semoga kita bisa menirunya). Begitu terus menerus dia merintis usaha dengan sedekah sebagai bagian yang tidak pernah ia tinggalkan.

Sampai akhirnya sukses dan menjadi penceramah yang terkenal. Bahkan si pemilik warung makan padang yang biasa dia kirim ayam pernah berkata sama anak buahnya” Itu kan si Ucup yang sering ngaterin ayam ke warung kita?” wah sudah jadi orang terkenal ia sekarang, bisa masuk TV”

Begitulah perjuangan ustad yusuf mansyur melalui sedekah dan memang membuat keajaiban dalam hidupnya dan hidup banyak jemaah yang dibimbingnya. Kalau anda ingin sukses dan bahagia berbagilah dengan mereka yang tidak mampu, bersedekahlah melalui Rumah Dhuafa semampu anda dan ikhlashlah dalam bersedekah

Sabtu, 29 Januari 2011

Do’a Anak Yatim Tidak Bisa Diremehkan

Kehidupan memiliki berbagai misteri, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada kita di esok hari. Yakinlah setiap peristiwa yang terjadi dan yang kita alami menyimpan sejuta rahasia. Seperti halnya keberkahan hidup yang bisa ditempuh lewat berbagai cara. Salah satunya adalah keberkahan dari do’a anak-anak yatim. Do’a dari anak-anak yang sudah tidak bisa merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Apalagi yang sholeh dan sholehah. Kini satu kisah lagi keajaiban Sang Maha Kuasa. Keajaiban berbagi dengan anak-anak yatim yang dialami oleh seorang pengusaha.

Mulanya, salah satu donatur kita ini mencoba untuk ber-istiqomah menyantuni anak-anak yatim di Yayasan Himmatun Ayat. Setiap pekan, ia selalu mendatangi sekretariat Himmah. Dan, dari keistiqomahan itulah, Allah mengganti harta yang telah ia berikan kepada anak-anak yatim dengan ganti yang lebih banyak. Memang Allah telah menjanjikan pada kita bahwa sesungguhnya jika kita semakin banyak bershodaqoh justru semakin bertambah pula harta yang kita miliki. Insyaallah. Dan keadaan yang ia alami juga demikian, usahanya yang aalnya biasa-biasa saja berkembang menjadi luar biasa pesat.

Suatu ketika, ia lupa akan keistiqomahan itu karena terlelap di dalam kehidupan yang sangat nyaman. Hingga usaha yang semula sukses kembali menurun. Program-program kerja yang telah dibuatnya semuanya mengalami kegagalan. Tidak hanya itu, ia bahkan menganggap bahwa dirinya tidak profesional dalam mengurusi usahanya sendiri.

Dan sampai suatu saat, ia belum menyadari apa yang telah ia lakukan sehingga usaha yang semula baik-baik saja menjadi kacau balau. Tapi, untunglah Allah masih membukakan jalan baginya sehingga ia teringat akan sesuatu yang sudah terlupakan. Apa itu ? Keistiqomahannya yang dulu, yaitu berbagi bersama anak-anak yatim setiap pekan.

Tak lama kemudian, subhanallah, usahanya kembali diberikan kesuksesan dan kelancaran. Selain faktor keuletan dan evaluasinya atas kesalahan yang telah ia lakukan selama ini. Dan ia berpesan “Janganlah kita hanya menyimpan harta kita hanya untuk diri kita sendiri, karena, harta yang kita miliki bukanlah milik kita sepenuhnya tetapi milik orang lain yang lebih membutuhkan”.

Dan dari semua peristiwa pasti ada hikmah yang dapat kita ambil. Begitupun kisah ini, bahwa tak ada hal yang luput dari penglihatan Allah SWT. Dan dari semua perbuatan pasti ada balasannya.

“Berbuat baiklah jika ingin orang lain berbuat baik pula ”