Assalamu'alaikum wr. wb " Kami Pengurus mengajak kepada bapak/ibu/saudara donatur/pembaca blogpanti yang ingin berinvestasi akhirat utk pembebasan tanah panti permeter : 250.000.yang masih kurang 35 juta.jika berminat hbg bendahara Hj,sri Murtini :081328838320/0274 773720/774230/langsung transfer ke no.rekening panti BRI cab.wates no.0152.01.003706-50-5 Cq H.Anwarudin. semoga menjadi sebab-sebab kemudahan dan khusnulkhotimah

Minggu, 07 Desember 2008

Keteladanan Nabi Yusuf dalam menghadapi godaan wanita

Oleh : Tohari bin Misro Al-Maduri

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ (٣٣)فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (٣٤)
Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." [33]. Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [34].(Qs Yusuf/12:33-34)
PENJELASAN AYAT
Kilas Balik Fitnah Wanita yang Mengancam Nabi Yusuf 'Alaihissalam .
Setelah selamat dari lubang sumur dan berpindah-tangan ke pejabat besar Mesir, kemudian Nabi Yusuf 'Alaihissalam tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata diperlakukan dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya. Tatkala usianya menginjak remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang melekat pada beliau. Dalam peristiwa Isra` Mi'râj, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa salam menjumpainya di langit tingkat ketiga dan beliau berkomentar: "Sungguh, ia diberi separuh ketampanan (penduduk dunia)".1Ketampanan Nabi Yusuf 'Alaihissalam ini telah membuat istri majikannya terpikat, dan ia pun membuat rencana untuk memperdaya dan menjerumuskan Nabi Yusuf 'Alaihissalam ke dalam perbuatan fâhisyah (perzinaan). Namun, Allah Ta'ala melindungi beliau dari perbuatan maksiat tersebut. Berita tergodanya istri pembesar Mesir dengan budaknya menyebar sampai ke telinga-telinga kaum Hawa pada masa itu. Awalnya, mereka mencela istri pembesar Mesir atas kejadian tersebut. Akan tetapi, wanita istri pembesar Mesir tidak kurang akal. Ia menempuh sebuah cara supaya wanita-wanita itu membenarkan dirinya sehingga sampai terpikat dengan seorang remaja bernama Yusuf 'Alaihissalam . Maka didatangkanlah wanita-wanita itu supaya menyaksikan sendiri ketampanan Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Ternyata benar, mereka benar-benar tersihir oleh keelokannya. Bahkan mereka menganggapnya sebagai malaikat, lantaran sedemikian tampan paras beliau. Keterpukauan dan kekaguman ini sampai mengakibatkan mereka tidak menyadari telah mengiris tangan-tangan mereka sendiri dengan pisau-pisau yang sengaja telah disediakan oleh istri pembesar Mesir, untuk membalas tipu daya wanita-wanita tersebut, yang sebenarnya juga memendam hasrat besar untuk menyaksikan keelokan
wajah Nabi Yusuf 'Alaihissalam dengan mata kepala mereka sendiri. Bukan murni untuk mencela istri sang pembesar Mesir itu. Selanjutnya, istri pembesar Mesir memberitahukan kepada para wanita yang hadir, mengenai kepribadian bagus yang tertanam pada diri Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Yaitu, sifat 'iffah (ketangguhan untuk menjaga kehormatan diri), tidak sudi menyambut ajakan berbuat tidak senonoh. Karena penolakan itu, muncullah ancaman dari mulut wanita istri pembesar Mesir itu. Yakni dijeblosankannya Nabi Yusuf 'Alaihissalam ke dalam penjara dan hidup dalam keadaan terhina.
Nabi Yusuf 'Alaihissalam Memohon Perlindungan kepada Allah Ta'ala .Saat itulah Nabi Yusuf 'Alaihissalam berlindung diri dengan Rabbnya, dan beliau memohon pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ
(Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku). Ini menunjukkan bahwa para wanita itu menyarankan Nabi Yusuf 'Alaihissalam supaya patuh terhadap tuan putrinya, dan mengupayakan untuk memperdaya Yusuf 'Alaihissalam dalam masalah ini. Akan tetapi, Nabi Yusuf 'Alaihissalam lebih menyukai terkurung dalam penjara dan siksaan duniawi ketimbang kenikmatan sesaat yang akan mendatangkan siksaan pedih.2 Sekaligus, ayat di atas juga mencerminkan bahwasanya istri pejabat masih saja mendesak Nabi Yusuf 'Alaihissalam untuk mau menerima ajakannya, dan mengancamnya dengan penjara dan kurungan, bila menolak ajakan itu. Pasalnya, seandainya wanita itu tidak menekan dan melancarkan ancaman, maka mustahil membuat Nabi Yusuf 'Alaihissalam sampai mengatakan "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku".3 Walaupun banyak kondisi yang sangat mendukung terjadinya perbuatan zina yang nanti akan dikemukakan satu-persatu, tetapi Nabi Yusuf 'Alaihissalam lebih mengutamakan ridha dan rasa takut kepada Allah Ta'ala . Begitu juga kecintaan kepada-Nya, telah mendorongnya untuk memilih hari-harinya hidup di bui daripada berbuat zina.4
وَإِلا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ
Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] Jika Engkau (wahai Rabbku) menyerahkan pengendalian urusan ini kepada diriku sendiri, sesungguhnya aku lemah, tiada daya, tidak mempunyai kekuatan, tidak sanggup mendatangkan bahaya dan kemanfaatan kecuali dengan bantuan dan kekuatan-Mu. Engkaulah tempat memohon pertolongan, kepada-Mulah
tempat sandaran, jangan Engkau serahkan pada diriku sendiri5
وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
(dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh). Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan: "Dengan kecondonganku kepada mereka, aku akan menjadi orang-orang yang tidak mengetahui hak-Mu dan menentang perintah dan larangan-Mu". 6 Penyambutan terhadap ajakan itu, menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa dan berhak menyandang celaan atau telah bertindak dengan perbuatan orang-orang yang tolol. Karena berarti lebih mengutamakan kenikmatan sesaat, dan akan sangat menyengsarakannya di akhirat kelak daripada kenikmatan abadi dan kesenangan yang beraneka macam di Jannatun-Na'im. Orang yang memilih ini daripada itu, apakah ada orang yang lebih bodoh darinya?7 Dan berdasarkan ijma' para ulama, orang yang dipaksa berzina dengan ancaman penjara, tetap saja tidak boleh untuk melakukannya. 8 Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Ia mengetahui kalau dirinya tidak mampu menghindarkan diri dari ajakan itu. Seandainya Rabbnya tidak menjaga dan menyelamatkannya dari makar para wanita itu, atas dasar nalurinya akan condong kepada mereka dan termasuk dalam golongan orang-orang yang bodoh. Ini merupakan indikasi kesempurnaan ma'rifat beliau kepada Alllah dan dirinya (yang lemah)".9 Dengan ini, Nabi Yusuf 'Alaihissalam berarti telah mencapai kedudukan yang sempurna. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perzinaan, seperti usianya yang remaja dan anugerah ketampanan dan kesempurnaan pribadi, digoda oleh majikan wanita, seorang istri pejabat Mesir yang juga berwajah elok, kaya dan berkedudukan, namun keadaan seperti itu tidak menggoyahkan keteguhan hati Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Beliau lebih memilih hidup terhina dalam jeruji penjara daripada melakukan perbuatan buruk, karena belaiu takut kepada Allah Ta'ala dan berharap pahala dari-Nya.10 Syaikh as-Sa'di t menyebutkan rahasia Nabi Yusuf 'Alaihissalam dapat selamat dari keadaan genting tersebut. Yakni, (setelah taufiq dari Allah l ), juga karena ilmu dan akal pikiran sehat yang mengajaknya untuk lebih mengutamakan kemaslahatan dan kenikmatan yang terbesar, serta lebih mengedepankan perkara yang kesudahannya terpuji. 11 Artinya, ketika aspek jahâlah (kebodohan) membelenggu manusia, baik masih dalam taraf yang ringan ataupun sudah pekat. Hawa nafsu manusia selalu berbisik kepada obyek yang buruk-buruk, yang tidak bermanfaat lagi membahayakannya di hari esok. Demikian ini, lantaran sisi jahâlah (kebodohan) yang menguasai jiwa tersebut. Oleh karena itu, siapa saja yang mencermati Al-Qur`anul-Karim, maka akan berhenti pada kesimpulan bahwa faktor kebodohanlah yang menjadi pemicu terjadinya dosa-dosa dan maksiat. Tidak mengherankan bila Nabi Yusuf 'Alaihissalam , seperti yang diceritakan oleh Allah Ta'ala pada ayat di atas, akan menilai dirinya sebagai manusia bodoh jika menyambut ajakan wanita istri penguasa Mesir, majikannya. Nabi Yusuf 'Alaihissalam berkata: "Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh". Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: "Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa, ia melakukannya karena dorongan unsur jahâlah
kebodohan pada dirinya, Red.)".12 Begitu juga Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafizhahullah mengatakan, al-jahlu (ketidaktahuan/tidak mengenal) Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, janji baik dan ancaman, serta tidak mengenal syariatnya merupakan penyebab terjadinya setiap kejahatan di dunia.13 Banyak ayat yang menjelaskan pengertian yang sama (al-jahlu) dengan ayat di atas. Di antaranya Allah Ta'ala berfirman saat menceritakan kaum Nabi Musa 'Alaihissalam , yang artinya: Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab : "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)". (Qs al-A'râf/7:138)Firman Allah Ta'ala , yang artinya: Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat(nya)?" Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". (Qs an-Naml/27: 54-55). Firman Allah Ta'ala , yang artinya: Katakanlah:"Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?" (Qs az-Zumâr/39:64). Oleh sebab itu, siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan melakukan perbuatan dosa, maka orang itu adalah jâhil (bodoh), sebagaimana telah menjadi kenyataan yang dimaklumi oleh generasi Salafush-Shalih. Allah Ta'ala berfirman :
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya… (Qs an-Nisâ`/4:17). Makna bi jahâlah adalah kebodohan (ketidaktahuan) pelakunya terhadap akibat buruk dari perbuatannya, yang dapat mendatangkan kemurkaan dan siksa Allah Ta'ala . Sehingga setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Ta'ala , maka ia bodoh ditinjau dari segi ini. Kendatipun ia mengetahui (memiliki ilmu) kalau perbuatan itu memang diharamkan; kebodohannya terhadap pengawasan Allah Ta'ala , kebodohannya terhadap dampak maksiat yang bisa mengurangi keimanan atau menghapuskannya. Qatadah rahimahullah berkata,"Para sahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa salam pernah berkumpul, dan mereka memandang setiap perkara yang dengannya Allah didurhakai, berarti itu bentuk jahâlah (kebodohan), baik dikerjakan dengan sengaja maupun tidak." As-Suddi rahimahullah berkata: "Selama seseorang masih bermaksiat kepada Allah Ta'ala, berarti ia masih bodoh". 14
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ
(Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf ) saat memanjatkan doa kepada-Nya.
فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ
(dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka): wanita itu masih saja bernafsu menggoda Nabi Yusuf 'Alaihissalam , dan ia menempuh segala cara yang mampu ia lakukan, tetapi Nabi Yusuf 'Alaihissalam bergeming, dan membuatnya patah arang, dan Allah pun memalingkan tipu-daya mereka dari Nabi Yusuf 'Alaihissalam .
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar): doa Nabi Yusuf 'Alaihissalam saat ia berdoa supaya Allah menghindarkannya dari tipu daya kaum wanita, dan doa setiap makhluk-Nya (lagi Maha Mengetahui), keinginan dan kebutuhan Nabi Yusuf 'Alaihissalam dan setiap hal yang dapat memperbaiki kondisinya serta mengetahui kebutuhan seluruh makhluk, dan hal-hal yang dapat memperbaiki keadaan mereka.15 Ini merupakan wujud pertolongan Allah Ta'ala kepada Nabi Yusuf 'Alaihissalam dari fitnah yang menghimpit dan berat ini.16 Mengapa disebutkan bahwa Allah 'Azza wa jalla memperkenankan doa Nabi Yusuf 'Alaihissalam , padahal tidak ada doa yang muncul dari bibirnya, dan Nabi Yusuf 'Alaihissalam hanya memberitahukan jika penjara lebih disukainya daripada bermaksiat kepada Allah Ta'ala ? Jawabnya, lantaran dengan itulah Nabi Yusuf 'Alaihissalam menyampaikan pengaduan kepada Allah 'Azza wa jalla dan [Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] mengandung makna permohonan doa Nabi Yusuf 'Alaihissalam kepada Allah Ta'ala untuk menghindarkan dari makar para penggoda. Oleh karena itu, lantas Allah Ta'ala mengabulkan doanya.17 Dalam konteks ini, sudah tentu Nabi Yusuf 'Alaihissalam masuk dalam kandungan hadits tujuh golongan yang meraih naungan Allah Ta'ala pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya. Rasulullah shollallahu 'alahi wa salam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ (وفيه) وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ
Ada tujuh golongan, Allah akan menaungi mereka dengan naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. (Salah satunya disebutkan): Seorang lelaki yang diajak seorang wanita yang memiliki kedudukan dan paras elok (untuk berbuat zina), akan tetapi ia mengatakan: "Saya takut kepada Allah". (HR al-Bukhari dan Muslim).
WANITA, FITNAH PALING BERBAHAYA BAGI LELAKIRasulullah shollallahu 'alaihi wa salam telah mengabarkan kepada kaum lelaki, bahwa fitnah wanita merupakan fitnah terberat yang dirasakan seorang lelaki. Rasulullah shollallahu 'alahi wa salam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalkan sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita. (HR al-Bukhari dan Muslim). Bahkan sejumlah ulama menyimpulkan, bahwasanya makar dan tipu daya wanita lebih berbahaya dari pada tipu daya setan. Yaitu dengan membandingkan penjelasan Allah Ta'ala tentang tipu daya setan dengan tipu daya wanita dalam surat ini. Firman Allah Ta'ala tentang tipu daya setan, (karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah) -Qs an-Nisâ`/4 ayat 76- sedangkan mengenai tipu-daya wanita, Allah Ta'ala berfirman (Sesungguhnya tipu daya mereka itu sangat besar) -Qs Yusuf/12 ayat 28. Komparasi ini menunjukkan bahwa tipu daya wanita lebih berbahaya daripada tipu daya setan.18
ALANGKAH DAHSYAT FITNAH YANG MENIMPA NABI YUSUF 'ALAIHISSALAM 19Allah Ta'ala telah menyampaikan betapa besarnya fitnah perzinaan yang menghadang Nabi Yusuf 'Alaihissalam. Banyak faktor yang dapat menjerumuskan Nabi Yusuf 'Alaihissalam ke dalam lembah kenistaan, yang tidak pernah dijumpai oleh siapapun. Penjelasannya sebagai berikut.
Naluri Nabi Yusuf 'Alaihissalam sebagai lelaki, beliau memiliki hasrat terhadap perempuan.
Status sebagai pemuda, yang umumnya memiliki rangsangan nafsu syahwat yang kuat. Terlebih lagi statusnya juga masih lajang, tanpa ataupun budak perempuan yang dapat dijadikan untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya, sekaligus tak ada anggota keluarga yang membebaninya.
Ketampanan yang dimiliki Nabi Yusuf 'Alaihissalam menjadi sumber daya pikat yang sangat berpengaruh, sehingga menyebabkan wanita tertarik kepadanya.
Keberadaannya sebagai orang asing, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Kebiasaan orang yang bermukim di lingkungan sendiri akan merasa malu berbuat tidak senonoh. Khawatir bila perbuatan nistanya terbongkar, yang pada gilirannya kehormatannya pun bisa terpuruk di mamasyarakatnya. Akan tetapi, meski di tempat asing, Nabi Yusuf 'Alaihissalam tidak ternoda godaan.
Statusnya yang seperti mamlûk (budak belian). Seorang budak, ia sering keluar-masuk ke tempat majikan. Dia pun tidak terlalu memikirkan hal-hal yang dihindari oleh seseorang yang merdeka.
Si wanita penggoda memiliki status sosial tinggi, sekaligus rupawan.
Yang memulai menggoda adalah wanita itu, bukan Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Sehingga hilanglah beban seorang lelaki untuk melancarkan jurus-jurus cinta untuk bisa merayu seorang wanita. Hilang pula perasaan takut ditolak wanita itu. Belum lagi agresivitas wanita tersebut dalam mendekati Yusuf 'Alaihissalam , yang berarti tindakannya itu bukan ditujukan untuk menguji ketahanan dan kesucian Nabi Yusuf 'Alaihissalam , tetapi benar-benar mengajaknya berbuat nista. Akan tetapi, Nabi Yusuf 'Alaihissalam bisa menjaga diri sehingga terhindar dari perbuatan yang menjijikkan.
Tempat kejadian berada di dalam rumah yang berada dalam kekuasaan pemilik, yaitu wanita penggoda tersebut. Sehingga ia leluasa dan mengetahui waktu-waktu yang sepi, hingga memungkinkannya melakukan perzinaan tanpa diketahui orang lain. Wanita itu pun melakukan ancaman bila hasratnya tidak dipenuhi, Tetapi Nabi Yusuf 'Alaihissalam menghindar dan menolaknya.
Begitu pula wanita pemilik rumah telah mengunci pintu-pintu dengan rapat, untuk mengantipasi masuknya seseorang secara mendadak. Keadaan rumah benar-benar kosong kecuali Nabi Yusuf 'Alaihissalam dan wanita itu. Tetapi Nabi Yusuf 'Alaihissalam bergeming untuk tidak melakukannya.
Ketika gagal merayu Nabi Yusuf 'Alaihissalam , maka wanita istri pembesar itu mengundang kaum wanita lainnya, sehingga timbul opini untuk memojokkan Nabi Yusuf 'Alaihissalam .
Adapun suami wanita pembesar itu tidak terlalu memperlihatkan kecemburuan, sehingga memisahkan keduanya. Terhadap perbuatan nista istrinya, sang pembesar hanya meminta agar Nabi Yusuf 'Alaihissalam melupakan kejadian tersebut, dan menuntut istrinya untuk bertaubat. Padahal kecemburuan seorang suami dapat menjadi penangkal yang tepat dalam kasus semacam ini, supaya tidak terulang di kemudian hari.
Walaupun sangat mencekam, Nabi Yusuf 'Alaihissalam tidak sudi menyambut ajakan wanita itu. Dia lebih mengutamakan hak Allah Ta'ala daripada hak majikan wanitanya. Allah Ta'ala telah menjaga kehormatannya. Mengapa Nabi Yusuf 'Alaihissalam dikatakan berhasil menjaga kehormatannya, padahal Al-Qur`ân menyatakan kalau Nabi Yusuf pun memiliki keinginan. Firman Allah Ta'ala menyebutkan:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya. [24]
Jawabnya,20 al hamm(keinginan) yang muncul dari beliau hanya sekedar khatharât (bisikan hati semata), yang kemudian ia singkirkan karena Allah Tabaraka wa ta'ala. Maka Allah Ta'ala membalasnya dengan kebaikan. Sedangkan hasrat yang berkecamuk pada wanita itu adalah hamm ishrâr (hasrat yang terus-menerus). Dia mengerahkan segala upaya untuk mewujudkannya. Akan tetapi gagal. Jadi, dua keinginan yang ada pada Nabi Yusuf Ta'ala dengan wanita itu berbeda. Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Keinginan itu ada dua macam, hamm khatharât dan ishrâr. Hammul-khatharât tidak diperhitungkan sebagai dosa, dan hammul-ishrâr diperhitungkan sebagai dosa ". Ringkasnya, Allah 'Azza wa jalla telah memberikan perlindungan kepada Nabi Yusuf 'Alaihissalam dengan berbagai faktor pendukung, sehingga beliau terhindar dari perbuatan nista tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: ketakwaan kepada Allah, memperhatikan hak majikan yang telah memuliakannya, memelihara diri dari tindakan aniaya yang tidak akan membuat pelakunya selamat. Begitu juga, Allah Ta'ala memberikan anugerah berupa keteguhan iman, sehingga menghasilkan ketaatan untuk mengerjakan perintah-perintah dan menghindari larangan-larangan-Nya. Substansi dari perlindungan itu, Allah Tabaraka wa ta'ala telah memalingkan Nabi Yusuf 'Alaihissalam dari keburukan dan perbuatan keji, karena ia tergolong hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya dalam beribadah. Allah juga telah mengikhlaskan hati, memilih dan mengistimewakannya bagi diri-Nya, mencurahkan kepadanya berbagai kenikmatan, dan menyelamatkannya dari berbagai keburukan. Dengan pemeliharaan Allah itu, ia pun menjadi insan pilihan-Nya.
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih. [24].Syaikhul-Islam rahimahullah berkata: "Seandainya Nabi Yusuf 'Alaihissalam telah berbuat dosa, niscaya akan bertaubat. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa ta'ala tidak menyebutkan kejadian dosa pada nabi kecuali disertai dengan taubat. Sedangkan (di sini), Allah Ta'ala tidak menyebut masalah taubat. Sehingga dalam kasus yang dialaminya itu dapat diketahui, beliau q sama sekali tidak berbuat dosa. Wallahu a'lam". 21 PELAJARAN AYAT
Nabi Yusuf 'Alaihissalam lebih memilih menghuni penjara daripada berbuat maksiat. Demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan, yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah Ta'ala darinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api.
Nabi Yusuf 'Alaihissalam memilih masuk penjara daripada melakukan kemaksiatan meskipun dibawah ancaman. Sikap ini termasuk dalam kategori tanda kebenaran iman.
Nabi Yusuf 'Alaihissalam memilih bahaya yang lebih ringan. Ini merupakan kaidah syar'iyyah yang telah dipakai oleh ulama-ulama terdahulu, untuk menghindari bahaya yang lebih berat.
Menghuni penjara tidak selalu menjadi petunjuk bahwa orang itu berkelakukan buruk. Sebab, seperti dicontohkan, Nabi Yusuf 'Alaihissalam adalah kekasih Allah Ta'ala . Bahkan masuk penjara bisa menjadi tonggak awal bagi masa depan yang lebih baik.
Jika seorang hamba menyaksikan sebuah tempat yang mengandung fitnah dan faktor-faktor penggoda untuk berbuat maksiat, semestinya ia bergegas pergi dan menjau darinya.
Mewaspadai bahaya khalwat, Yaitu berduaan dengan wanita (laki-laki) asing, yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Juga, harus mewaspadai getaran cinta yang ditakutkan memantik bahaya.
Hasrat yang muncul pada Nabi Yusuf 'Alaihissalam terhadap wanita tersebut, yang kemudian ia singkirkan karena Allah, menjadi salah satu tangga yang mengangkatnya kepada Allah menuju kedudukan yang dekat dengan-Nya.
Seorang hamba, seharusnya selalu mencari perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah pemeliharaan-Nya ketika berhadapan dengan pemicu-pemicu maksiat, kemudian berlepas diri sikap percaya diri yang ada pada daya dan kekuatan pribadinya.
Seseorang tidak terpelihara dari maksiat kecuali karena pertolongan dari Allah Ta'ala .
Allah tidak akan menyia-nyiakan keteguhan iman, keseriusan hati, dan usaha seorang hamba yang muhsin.
Seseorang yang sudah tercelup keimanan pada hatinya, ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah pada semua perbuatannya. Allah Ta'ala akan menyingkirkan berbagai kejelekan, perbuatan keji dan maksiat (dari dirinya) dengan kekuatan iman dan keikhlasannya, sebagai balasan bagi keimanan dan keikhlasannya. Allah Ta'ala telah berfirman, yang artinya: Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Kisah ini menunjukkan keindahan batin Nabi Yusuf 'Alaihissalam , yaitu sifat iffah (penjagaan kehormatan diri) yang besar dari godaan maksiat.
Sesungguhnya ilmu yang benar dan akal yang sehat akan membimbing pemiliknya kepada kebaikan dan menahannya dari kejelekan. Sebaliknya, kebodohan akan menjerumuskan seseorang selalu memperturutkan bisikan hawa nafsunya, walaupun merupakan maksiat yang berbahaya bagi pelakunya.
Kisah dalam ayat ini memperlihatkan tentang buruknya kebodohan, dan celaan bagi orang bodoh (jahil).
Maraji`:
Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma' Malik Fahd, Madinah.
Ad-Dâ` wad-Dawâ`, Imam Ibnul-Qayyim, KSA, Cet. III, Th. 1419 H – 1999 M.
Adhwâul-Bayâni fi Idhâhil-Qur`âni bil-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi, Maktabah Ibni Taimiyyah, Kairo, Mesir, 1415 H - 1995 M.
Ahkâmul-Qur`ân, Abu Bakr Muhammad bin 'Abdullah (Ibnul-'Arabi), Tahqiq: 'Abdur-Razzâq al- Mahdi, Dârul-Kitâbil 'Arabi, Cet I, Th. 1421 H – 2000 M.
Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah 'Ulum wal-Hikam, Madinah.
Al-Jâmi li Ahkâmîl-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: 'Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cet. IV, Th. 1422H - 2001M.
Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshâni, Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin Abdul-Muhsin al-'Abbâd, Penerbit Ghirâs, Cet. III, Th. 1424 H - 2003 M.
Ithâful Ilf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf q , Muhammad bin Mûsa Alu Nashr dan Salîm bin 'Id al-Hilâli, Maktabah ar-Rusyd, Cet. I, Th. 1424 H - 2003 M.
Jami'ul-Bayân 'an Ta`wîl Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
Ma'âlimut-Tanzîl, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad 'Abdullah an-Namr, 'Utsmân Jum'ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy Dâr Thaibah, Th. 1411 H.
Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M.
Taisîrul-Karîmir-Rahmân, 'Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa'di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
1 HR Muslim no. 162 dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiallahu'anhu .
2 Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân (9/159), Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
3 Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/262).
4 Ad-Dâ` wad-Dawâ`, hlm. 322.
5 Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (4/386).
6 Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/263).
7 Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
8 Ahkâmul-Qur`ân (3/39).
9 Ad-Dâ` wad-Dawâ`, hlm. 322.
10 Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (4/386-387).
11 Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
12 Ma'âlimut-Tanzîl (4/239).
13 Aisarut-Tafâsîr (2/610).
14 Tentang korelasi antara kebodohan dengan perbuatan maksiat seorang muslim, dikutip dari kitab Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshânihi, hlm. 62-64.
15 Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/264).
16 Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
17 Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Ay Al-Qur`ân (12/264).
18 Adhwâ-ul Bayân (3/63).
19 Diringkas dari ad-Dâ` wad-Dawâ`, hlm. 319-322. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (4/387) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 419.
20 Ithâful lf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf 'Alaihissalam (1/324).
21 Al-Fatâwa (15/149, 17/30-31).

Adakah pacaran islami ???

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi rahimahullahu yang masyhur dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena kesyirikan dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara menjadi berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan kurangnya penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan berbagai penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena perbuatan-perbuatan rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu ditimpakan kepada mereka agar mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas apa yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau bertaubat dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah, kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di kota besar, bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang terjadi hampir di seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa anak manusia.
Abul ‘Aliyah rahimahullahu berkata, “Siapa yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi maka sungguh ia telah membuat kerusakan di bumi. Karena kebaikan di bumi dan di langit diperoleh dengan ketaatan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab kerusakan tersebut. Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh saja, bahkan dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.
Di lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin kita bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan kerusakannya! Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap Islam, yang aktif dalam organisasi Islam, training-training pembinaan keimanan dan kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin karena kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya hawa nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena diberi embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal, berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengingatkan negeri akhirat, tentang surga dan neraka. Begitu katanya!
Pacaran yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau cocok, diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri dengan cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah seorang aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan anak-anak muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda Islam, ikhwan sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak berjilbab, tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang muslimah yang shalihah.”
Darimanakah mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka? Benarkah mereka telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah mereka terjerembab ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah yang menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai kebenaran. Mereka memang -katanya- tidak bersentuhan, tidak pegangan tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah mereka (anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga mereka?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1. Dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah dengan memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Makna dari hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan hidupnya yang sah, pent.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk melihat zina, atau untuk menyentuh wanita non mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya. Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya, dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram, sekalipun dekat dengannya.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/206)
Dengan pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Tidakkah mereka tahu bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Di samping itu, dengan pacaran “Islami” ala mereka, mereka tentu tidak akan lepas dari yang namanya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya hijab/tabir penghalang).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Wanita adalah fitnah, sehingga laki-laki ajnabi dilarang bersepi-sepi dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia diciptakan punya kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan menguasai mereka dengan perantaraan para wanita.”
Beliau juga mengatakan bahwa wanita adalah aurat yang sangat urgen untuk dijaga dan dipelihara. Dan mahramnya sebagai orang yang memiliki kecemburuan terhadapnyalah yang akan melindungi dan menjaganya. (Al-Ikmal, 4/448)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Adapun bila seorang laki-laki ajnabi berdua-duaan dengan wanita ajnabiyah tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama. Demikian pula bila bersama keduanya hanya ada seseorang yang biasanya orang tidak sungkan/tidak merasa malu berbuat sesuatu di hadapannya karena usianya yang masih kecil, seperti anak laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan yang semisalnya. Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak adanya.” (Al-Minhaj, 9/113)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai memperingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)
Ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-lakinya. Makna “Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya. Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Al-Minhaj, 14/ 378)
Ketika Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan penanya, sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad berarti si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum dukhul. Namun bila yang dimaksud sebelum zawaj adalah sebelum akad nikah, baru pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini haram. Tidak boleh dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki bernikmat-nikmat dengan seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan, pandangan, maupun khalwat.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita sekalipun, ia tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterimanya pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas telepon, bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena hubungan keduanya belum resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya. Lalu apatah lagi orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan, walaupun diembel-embeli kata Islami?
Ada seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita, namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang hal ini, beliau menjawab, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki dengan si wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun lewat telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita, maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.
Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara mereka, namun hanya bertujuan untuk saling mengenal -sebagaimana yang mereka istilahkan- maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).
Ulama telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan talbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka laki-laki hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”
Hadits di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak semestinya memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia terpaksa berbicara dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu a’lam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/163,164)
Kita baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara langsung. Lalu bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal. 58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan seorang wanita ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati. Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama dan kehormatannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.”
Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya, apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia, untuk surat-menyurat dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya, hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat dengannya.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Dalam surat-menyurat antara pemuda dan pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?
Wallahul musta’an.
Footnote:
1 Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan dengan apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)

Selasa, 02 Desember 2008

amalan-amalan bulan Dhulhijjah

Oleh : Tohari bin Misro Al-Maduri
Pengasuh Panti Asuhan Muhammadiyah Kriyanan Wates
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan beramal di 10 hari pertama bulan Dzulhijah.
Ibnu Rojab dalam Latho’if Ma’arif mengatakan, “Amalan yang kurang afdhol jika dikerjakan di waktu yang utama (seperti bulan Dzulhijah, pen), lalu dibandingkan dengan amalan yang afdhol yang dikerjakan di bulan lainnya, maka amalan yang dikerjakan di waktu yang utama akan lebih unggul karena pahala dan ganjaran yang dilipatgandakan.” Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun, ada pula yang mengatakan sama dengan dua tahun, bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada hadits fadho’il yang lemah (dho’if), namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shahih yang ada.
Lalu Apa Amalan yang Dapat Kita Lakukan Pada Awal Dzulhijah?
Amalan yang dapat dilakukan adalah berpuasa. Berdasarkan perkataan Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Namun ‘Aisyah mengatakan bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa di hari-hari tersebut sama sekali. Ibnu Rojab menukil perkataan Imam Ahmad dalam menggabungkan dua perkataan ini dengan mengatakan, “Yang dimaksudkan ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa secara sempurna pada awal Dzulhijah. Sedangkan yang dimaksudkan Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada mayoritas hari-hari yang ada. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang berpuasa pada sebagian hari dan berbuka pada sebagian lainnya. Inilah kompromi yang paling bagus.”
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa pada awal Dzulhijah tidak hanya dikhususkan untuk berpuasa, namun ini umum untuk amalan lainnya seperti qiyamul lail (shalat malam) dan memperbanyak dzikir yaitu bacaan tahlil, tahmid dan takbir. Ini menunjukkan keutamaan beramal pada awal bulan tersebut. (Inilah Faedah dari Latho’if Ma’arif, Ibnu Rojab)
Juga hendaklah kita yang gemar melakukan amalan sunnah (mustahab) dapat berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijah (puasa Arafah) karena keutamaan yang besar di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 2804).
Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)
Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat taufik Allah untuk beramal pada hari yang utama ini dengan selalu mengharapkan wajah-Nya dan mengikuti tuntunan Rasul-Nya.




Fiqih Qurban
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
DefinisiAl-Imam Al-Jauhari rahimahullahu menukil dari Al-Ashmu’i bahwa ada 4 bacaan pada kata اضحية:1. Dengan mendhammah hamzah: أُضْحِيَّةٌ2. Dengan mengkasrah hamzah: إِضْحِيَّةٌBentuk jamak untuk kedua kata di atas adalah أَضَاحِي boleh dengan mentasydid ya` atau tanpa mentasydidnya (takhfif).3. ضَحِيَّةٌ dengan memfathah huruf dhad, bentuk jamaknya adalah ضَحَايَا4. أَضْحَاةٌ dan bentuk jamaknya adalah أَضْحَىDari asal kata inilah penamaan hari raya أَضْحَى diambil. Dikatakan secara bahasa:ضَحَّى يُضَحِّي تَضْحِيَةً فَهُوَ مُضَحِّAl-Qadhi rahimahullahu menjelaskan: “Disebut demikian karena pelaksanaan (penyembelihan) adalah pada waktu ضُحًى (dhuha) yaitu hari mulai siang.”Adapun definisinya secara syar’i, dijelaskan oleh Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Al-‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud (7/379): “Hewan yang disembelih pada hari nahr (Iedul Adha) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115, Subulus Salam 4/166, Nailul Authar 5/196, ‘Aunul Ma’bud 7/379, Adhwa`ul Bayan 3/470)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini - qurban - dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
· Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
· Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
· Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
Hewan
Umur minimal
1.
Onta
5 tahun
2.
Sapi
2 tahun
3.
Kambing jawa
1 tahun
4.
Domba/ kambing gembel
6 bulan(domba Jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
· Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas - orang yang melihatnya menilai belum buta - meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
· Sakit dan tampak sekali sakitnya.
· Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
· Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
· Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
· Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
· Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
· Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
· Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
· Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
· Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
· Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
· Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
· Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
· Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
· Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir - Allahu akbar - para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
o hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
o hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
o Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Berdoa, lalu dilanjutkan dengan menyembelih hewan qurban.
Adapun doa ketika menyembelih adalah :
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ.... ومن أهله/ أهلها
(sebutkan nama shahibul qurban) Atau mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ ... وعن أهله/ أهلها
(sebutkan nama shahibul qurban)
Apabila binatang qurban tersebut sapi atau unta, sedengankan sahibul qurban lebih dari satu orang, maka doa penyembelihannya sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ ... و ... و ... ومن أهلهم
(sebutkan semua nama shahibul qurban)
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
· Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
· Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
· Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
· Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
· Dihadiahkan kepada orang yang kaya
· Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
· Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
· Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
· Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
· Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
· Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain - di luar tempat tinggal shohibul qurban - selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
· Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
· Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
· Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
وبالله التوفيق
Ambil dari tulisan : Ammi Nur Baits dan ditambah dengan kitab yang lainArtikel www.muslim.or.id